Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/132

Halaman ini tervalidasi

28 Djanuari 1967, jang dihadiri oleh seluruh Pemangku Adat di Sumatera Barat dengan seluruh Luhak dan Rantaunja sampai kealam serambi Sungai Pagu, jang telah memutuskan dengan mufakat jang bulat: "Falsafat Adat dan Hukum Adat: Falsafat Adat Minangkabau adalah “Adat basandi Sjarak, Sjarak basandi Kitabuliah”, identik dengan falsafat Negara Pantjasila”,

Berdasar kepada pokok2 pikiran tersebut diatas, sesuai dengan maksud seminar ini, maka susunan prasaran jang akan saja kemukakan ini adalah seperti berikut:

  1. Kedudukan Agama dan Adat di Minangkabau,
  2. Perkembangan Hukum Waris dan Tanah di Minangkabau,
  3. Kepastian Hukum Waris menurut Agama Islam,
  4. Djalan kompromi jang harus dipertimbangkan.

1. Kedudukan Agama dan Adat di Minangkabau.

Dalam buku Falsafat Adat Minangkabau karangan Prof. M. Nasrun S.H. dapat kita pahamkan, bahwa pola Adat itu sama dengar Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam pada dasarnja sama-sama mengambil dalit dari ajat' Tuhan, hanja bedanja kalan Agama Islam berdasar kepada ajat Tuhan jang berupa Katamullah jang Qadim jaitu Al-Quranulkarim, maka Adat Minangkabau banjak mempergunakan dalil dengan ajat Tuhan jang ada dialam, seperti dapat kita lihat dari bunji pantun pepatah jang berbunji:

 “Panggiriek pisau siruvik,
 Patungkek batang lintabueng,
 Salodang ambiek kanjiru,
 Satitiek djadikan Janik,
 Sakapa djadikan gunueng,
 Alam takambang djadikan guru”.

Tjara jang demikian itu dibenarkan dalam beberapa firman Tuhan dalam Al Ouran seperti dinjatakan Tuhan dalam surat Djatsijah, ajat 3 dan 4, jang bermakna :

”Sesunggubnja pada alam Yangil dan alam bumi, penuh dengan ajat' Tuhan bayi settap orang jang beriman. Demikian djaga pada diri setiap munusia dan setiap binatang jang ada pada semuanja itu adalah aneka ragam ajat2 Tuhan bagi polongan jang mempounjai kejakinan”,

Dan firman Tuban dalam surat Az-Zarijat. ajat 20 dan 21, jang bermakna:

118