Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/146

Halaman ini tervalidasi

 Kalau ada orang bertanja bagaimana menurut agama Islam (Sjara') tentang wadjib nafkah kaswah maskan (kediaman) bagi seorang suami ? Maka disini didjawab dengan satu pepatah adat Minangkabau: Lawan tepuk, tampar 5 lawan sepak, terdjang. Artinja kalau kita ditepuk orang harus kita balas dengan tampar, dan kalau kita disepak Orang harus balas dengan terdjang. Dengan pengertian lain, harus balasannja lebih besar dari mulanja. Dengan demikian kalau seorang laki2 dihormati begitu rupa oleh seorang isteri berikut penghormatan jang diberikan oleh keluarga perempuan bagaimanakah perasaan si suami jang telah dimandjakan begitu rupa ? Maka disitulah letaknja pepatah diatas tadi. Makim kita dihormati oleh mertua makin kita habiskan membela isteri dan anak tjutju.

 Menurut pepatah adat bahwa orang semanda, singkat mengulas kurang menukuk. Anehnja, apabila kita telah memberikan djasa kepada isteri, telah memberi apa? atau telah membuat rumah dikampung istri, semuanja itu adalah mendjadi hak milik perempuan dan diawasi oleh mamak perempuan. Dan sibapa tidak boleh lagi mendjual menggadaikan sawah atau rumah jang telah dibuatkan untuk isteri itu tanpa seizin mamak rumah atau penghulu si-isteri itu. Sebab itu di Minangkabau seorang perempuan tidak mau dibawa kerumah sunminja kalau rumah suaminja itu berdirt diatas tanah kaum suami itu sendiri, Karena walaupun bagaimana, toh nantinja rumah itu tetap dikuasai oleh kemenakan suami dan si-isteri bersama anak2nja akan terpaksa keluar dari rumah itu, walaupun rumah itu dibuat Oleh suami dengan biajanja sendiri pula. Sebab itu si-isteri kalau membuat rumah harus diatas tanahnja sendiri, walaupun biaja pembuat rumah itu berasal dari kekajaan suami bersama kemenakannja, sehingga achirnja rumah tetap mendjad: hak milik perempuan bersama anak2nja dibawah pengawasan kepala kaum perempuan itu. walaupun dia tidak ikut serta dalam biaja rumah itu.

Demikianlah peraturan adat Minangkabau jang berlaku. Semuanja itu politis adalah untuk memelihara dan untuk membela kaum lemah, jaitu kaum perempuan beserta anak2nja sepeninggal ajahnja nanti, sehingga disana berlaku pepatah adat:

  “Kaluek paku katjang balimbieng.
  Tampurueng lenggang'kan,
  Dibao nak rang Suruaso.
  Anak dipangku kamanakan dibimbieng.
  Urang kampueng dipatenggangkan.
  Tenggang adat djan hinaso”.

132