Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/147

Halaman ini tervalidasi

Dengan pengertian anak harus dipangku, kaki kita jang djadi kakinja, artinja dibelandjai setjukupnya oleh sibapa (tanggung djawab bapa). Kemenakan dibimbing, dia berdjalan dengan kakinja, tetapi tangannja dipegang supaja djangan terdjatuh. Djadi walaupun bapanja telah mendjamin anaknja namun mamaknja harus memperhatikan kemenakannja itu. Achirnya tiap2 keluarga Minangkabau akan mendjadi selamat sedjahtera karena tentang tangan ada tempat bergantung dan tentang kaki ada tempat berpidjak.

Hukum waris. Menurut pepatah adat Minangkabau, pusaka itu dari nenek turun kemama, dari mamak turun ke-kemenakan, baik pusaka itu mengenai gelar pusaka ataupun mengenai harta pusaka. Sebab itu kalau ads seseorang Datuk Sati (penghulu) atau Sutan Sati (pemuda), Tk. Sati (ulama), maka gelar Datuk Sati dan laim sebagainja itu apabila dia meninggal dunia akan turun kepada kemenakannja, jaitu anak dari saudara perempuan. Dan tidak sah kalau gelar itu dipakai oleh anak. Begitu pula semua harta pusaka jang dipakai atau jang dikuasai oleh Datuk Sati, Sutan Sati dan sebagainja itu turut dipusakai oleh kemenakannja. Oleh karena itu tidak heran kalau didaerah Minangkabau banjak sekali terdjadi perkara antara satu kaum dengan satu kaum jang lainnja kalau akan memakai gelar pusaka. Karena hakikatnja bukanlah gelar pusaka itu jang dioerebutkan tetapi adalah harta pusaka jang dikuasai oleh gelar pusaka itu.

Mengenai warisan itu menurut adat adalah sekedar menguasai sadja, tidak seperti waris jang disjariatkan oleh agama Islam karena waris menurut agama Islam mempunjai bagian2 tertentu seperti mendapat bagian seperdua, sepertiga, seperempat. dsb., Dan bagiannja itu dapat dikuasainja menurut hak miliknja, boleh didjual dihibahkan dan lain sebagainja dengan tidak dapat dihalangi oleh orang lain.

Berlawanan dengan waris menurut adat Minangkabau. Seseorang atau satu kaum mendapat warisan dari neneknja atau dari mamaknja menurut adat hanja sekedar menguasai atau memakai harta pusaka itu, tetapi tidak dibolehkan mendjual atau menghibahkan harta kepada siapa djuapun, katjuali kalau disepakati oleh semua keluarga dalam kaum itu. Hanja jang dibolehkan menguasai hasilnja atau buah dari harta pusaka itu. Hasil atau buah itulah hanja dapat didjual dan dihibahkan kepada siapa djuga jang dikehendakinja.

Biasa didaerah Minangkabau ini, dengan hasil harta pusaka itulah seorang laki2 dapat menolong anak isterinja, selama ia masih hidup. Dengan harta pusaka itulah ia dapat menebus, membeli, membikin rumah untuk anak isterinja. Tetapi apabila ia meninggal dunia

133