Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/148

Halaman ini tervalidasi

maka semua harta itu kembali kepada saudara2nja jang perempuan.

 Menurut biasanja sampai hari ini belum ada perobahan keadaan harta pusaka itu, baik harta pusaka itu berasal dari harta pusaka jang dipakai nenek atau dari mamaknja jang telah lalu, ataupun harta itu berasal dari pentjarian orang itu sendiri. Kalau dia mati tanpa wasiat apa2, biasanja harta itu akan dikuasai oleh kemenakannja. Isteri dari anaknja tidak dapat berkuasa apa2. Kalau terdjadi perkara di Pengadilan Negeri biasanja kalah anak dan isterinja itu dan akan menang pihak kemenakannja. Oleh karena itu didaerah Minangkabau ini biasanja kalau seorang laki2 banjak mempunjai harta prntjarian, kalau ia bermaksud akan mempusakakan harta pentjariannja itu kepada anaknja, biasanja dibelikan kepada barang2 atau hutan tanah atas nama anaknja dengan satu surat keterangan. Kalau tidak demikian maksudnja akan mendjadi sia2 belaka. Demikianlah eratnja hubungan keluarga kesukuan di Minangkabau, sehinga keluarga jang djauh dalam kaumnja itu lebih dahulu mrndapat pusaka atau mewarisi harta seseorang, daripada anak kandungnja sendiri. Begitu pula imbangannja segala apa jang terdjadi buruk baik malang dan mudjur semuanja akan dibebankan kepada kaum pesukuan itu. Umpama seorabg meninaghal duani, meninggalkan hutang kepada seseorang. Maka jang ditagih dan jang wadjib membajar menurut adat adalah kemenakannja, bukanlah anaknja. Begitupun kalau terdjadi sakit seseorang maka sisakit itu di djemput dan dibawanoleh kemenakan kerumah tangganja walaupun dia itu tidur dirumah anaknja atau si-isterinja sendiri. Apalagi kalau jang sakit itu seorang penghulu.

 Sekarang timbul pertanjaan: dimanakah letaknja pepatah jang mengatakan:"Adat bersendi Sjara', Sjara' bersendi Kitabullah", seperti tersebut diatas tadi? Pertanjaan ini akan sulit mendjawabnja. Karena itu kita serahkan mendjawab kepada Penghulu pemangku adat Minangkabau.

 Karena sudah banjak pertikaian adat dengan sjara' jang udah dapat diselesaikan dengan baik, sehingga peraturan sjara' itu sendiri telah mendjadi adat, seperti adat nikah-kawin, adat berchitan, dan lain2 sebagainja, sekarang tinggal satu masalah lagi, jaitu masalah harta pusaka. Adapun harta pusaka tinggi, jaitu mengenai hutan tanah sawah ladang, jang diwarisi dari nenek turun kemamak dan dari mamak turun kekemenakan, harta pusaka jangbseperti itu sudah dapat disetudjui oleh Sjara' untuk diwarisi oleh kememakan (keluarga dalam sukunja). Karena harta jang sepserti itu tidak pula boleh dipusakakan atau diwariskan kepada anak isteri oleh karena harta jang seperti itu134