Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/41

Halaman ini tervalidasi

 Kumpulan beberapa Nagari disebut Koto, Limo Koto, Duabaleh Koto, Empat Koto, Tigo Koto (Scumpama Sitalang, Batukambing dan Sitanang), Sepuluh Koto dan lain-lain.

 Maka Luhak Nan Tigo, jaitu Agam, Tanah Datar dan Limapuluh, dipandanglah sebagai Benteng dari Adat. Mereka bagi pula keistimewaaan dan Etnologi dari tiap-tiap Luhak.

 “Surang tjadiek, surang pandeka, surang djuaro tangah balai.” Tjerdik Lubak Limapuluh, Pendekar Luhak Tanah Datar, Djuaro Tangah Balai Luhak Agam. Disebut djuga Surang Radjo, surang Pangulu, surang Dubalarg, Dubalang di Luhak Agam.

 Laju mereka akut bahwasanja Darat Barantau. Didjelaskanlah bahwa Darat Berpengulu. Rantau Beradja. Derdjat seorang Penghulu didarat, sama dengan seorang radja dirantau.

 Ada pula daerah jang disebut "Ulu Darek Kapalo Rantau” jaitu : Palembajan Silaras Air, Lubuk Danau Nan Sepuluh, memutih tjando pasirnjo, ikan di Danau djinak-djinak, ado buajo didalamnjo, Lubuk Basung Kampung Pinang, Simpang Ampek Sungai Geringging. Lambah Bawan djo Tigo Koto, Garagahan Padang Manggopon.

 Selain dari Luhak Nan Tigo itu semuanja adalah Rantau. Tiku Pariaman disebut djuga Rantau. Sampai sekarang masih terdengar dalam utjapan Urang Darek (orang Darat), pergi ke Parteman disebut pergi kerantau. Disana ada Radja, duduk di Padusunan, Nar Tongga Magek Djabany. Indrapura pun, negeri ini djatuh kelangan Atjeh, lalu duduklah anak Radja Atjeh disana.

 Bandar Sepuluh, rantau Tuan Indomo. Rembau Srimenanti (di Malaysia) sekarang, rantau Tuan Machudum. Siak Sri Indrapura Jan Indragiri adalah rantau Yuan Oadhi, Sedang Padang adalah rantau Bendahara.

 Menurut berita jng saja dengar dari orang tua-tua, setelah negeri Padang ini djatuh kebawah kuasa Belanda, lepas dari tangan Atjeh, Belanda mengangkat kembali orang besar Minang asli mendjadi Regont di Padang, dergan gelar Bendahara. Kalau beliau duduk bersemajam jang menerima persembahan dengan menjusun djari nan sepuluh, belrau sambut persembahan itu, lalu beliau bawakan susunan tangannja kedjurusan Pagar-Rujung, Beliau melambangkan bahwa "persembahan itu saja kembalikan kepada jang berhak menerimanya, jaitu istana Pagar Rujung. Menurut keterangan jang saja terima dari Prof. St. Keradjaan, seketika sitja mendjadi Dosen "terbang” ke FKIP di Batusangkar (19857. dia sendiri sebagai anak-tjutju Radja-radja

27