Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/42

Halaman ini tervalidasi

Minangkabau, di-tahun² duapuluhan masih menolong Tuan Machudum di Sumanik, mengambilkan kiriman Wesel dari Rembau Sri Meranti (Negeri Sembilan), sebagai bunga Emas (hak datjing pengeluaran, ubur-ubur gantung kemudi) menurut Adat, jang dikirim oleh Jang Dipertuan Besar Negeri Sembilan. Dan menurut pengetahuan saja Jang Dipertuan Besar Negeri Sembilan waktu itu ialah Tuanku Muhammad ajalı dari Jang Dipertuan Besar Abdurrahman, jang setelah Persekutuan Tanah Melayu (sekarang Malaysia) merdeka, Bagindalah jang dipertuan Agung Pertama dari keradjaan Melayu Bersekutu itu.


Mereka sebutkan batas wilajah Minangkabau : sedjak dari Sikilang Air Bangis, Durian Ditakuk Radjo, Sirangkak nan Balangkung, Taratak Air Itam, Siluluk Punai mati, Buajo Putih Daguk. Sehingga meskipun dinegeri jang disebut Rantau sendiri, sebagai Kuantan sampai ke Tjerenti dan Basrah, atau Kampar Kiri-Kampar Kanan, Tapung Kiri-Tapung Kanan, Harta Pusaka Tinggi masih ada. Pusaka Adat, masih turun kepada kemenakan. Kalau Mamak bergelar Datuk Mantari Alam, kemenakannja kelak bergelar Datuk Mantari Alam pula.


Begitu juga di Atjeh Selatan (Sama Dua, Tapak Tuan, Meulaboh), Labuhan Hadji, Trumon dan Bakongan. Sedang penduduk negeri-negeri Atjeh Selatan ini adalah berasal dari Minangkabau. Nenek mojang mereka berasal dari Pariaman, Bandar Sepuluh dan Batipuh sendiri. Menurut tjatatan Abdul Muis dalam buku karangan beliau, Tjut Njak Din, Pahlawan kita Teuku Umar Djohan Pahlawan, adalah keturunan Machudum Sati jang berasal dari Batipuh. Sampai saat sekarang ini mereka itu disebut dalam bahasa Atjeh "Anak Djameu” (Anak Djamu), atau tetamu. Mereka masih memakai bahasa Minangkabau, sehingga disebelah Meulaboh ada orang Atjeh jang tidak tahu bahasa Atjeh, dan hanja tahu bahasa Minang. Sampai achir abad kesembilan belas, artinja semasa Atjeh masih merdeka dan berdaulat, Uleublang-uleublang di Tapak Tuan, Sama Dua, Trimon, Bakongan, Meukek, Meulaboh dan Labuhan Hadji masih menerima gelar Datuknja dari Mamakrja. Setelah Belanda berkuasa, barulah dialihkan kepada anaknja. Sebagaimana djuga Laras Empat Koto di negeri aja, Laras Pertama Datuk Radjo Bandaro dizaman Padri, Suku Gutji, digantikan oleh Laras Kedua Datuk Pamuntjak, Suku Gutji djuga. Datuk tetapi kemudian baru dialihkan Belanda kepada Anaknja Pangulu Besar, Suku Piliang. Dan kemudian setelah pangkat Laras diganti dengan Demang, jang djadi Demang adalah Sutan Perpatih (kemudian bergelar Datuk Bandaro Kajo, Suku Tjaniago), jang terkenal dengan gelar 'Demang Lunak" di Batusangkar dahulu.28