Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/48

Halaman ini tervalidasi

dimakan sando. Tetapi harta Pentjaharian hendaklah di-faraidhkan menurut Agama. Ulama-ulama malahan mempertahankan Harta Pusaka, dengan menilai kembali sjarat jang empat, jang membolehkan Harta Pusaka didjual atau digadaikan.

Adat pusaka tiada berdiri sudah dapat dimadjukan, sehingga dalam beberapa Nagari, kalau seorang Ninik-mamak meninggal dunia, jang bernama: "Mati Bertongkat Budi", tidak perlu diadakan makan-makan dan kenduri, sebab menurut faham Ulama-Kaum Muda jang telah berpengaruh di Minangkabau, kenduri dirumah orang kematian haram hukumnja. Oleh sebab itu kalau seorang Ninik Mamak meninggal dunia, diletakkan keris diatas djenazahnja dan sebelum djenazah diangkat kepekuburan, diadakan terlebih dahulu upatjara mengelipahkan djabatannja kepada Datuk Penungkatnja. Dengan menjerahkan kepada kemenakannja jang berhak jang setengah Nagari disebut "Lembaga". Sesudah itu diurus menurut Agama dan dikebumikan.

Jang oleh karena sudah keputusan Adat, kedudukan sama djuga dengan upatjara sambil makan-makan. Karena kalau gelar itu tidak disandangkan kepada Panungkatnja dihari itu djuga, gelar itu akan terbenam. Adat "mentjabutkan batang terbenam" lebih berat dari mengangkat Penghulu biasa. Sekurang-kurangnja seekor kerbau djadi korban.

Dengan mengharamkan kenduri dirumah orang kematian ini, ulama-ulama Minangkabau telah berhasil membendung kemusnahan Harta Pusaka, sehingga hidup jang sama selama ini tetap dapat dipertahankan. Karena dizaman lampau banjak sawah ladang tergadai kepada jang lebih kaja semata-mata karena hendak mengadakan kenduri kematian. Meiga-hari, Menudjuh Hari, Empatpuluh Hari, Seratus Hari dan Seribu Hari.

Disaat itu pengaruhi fatwa Ulama mengalahkan kedudukan Pangulu, melarang mengadakan Walimah perkawinan terlalu dibesar-besarkan. Sehingga lebih dari kekuatan: "Gadang tukik dari panganak”.

Dari semua keterangan ini nampakn'ja bahwa kedatangan Islam bukanlah memperlemah Adat, tetapi memperkuatnja.

Ada orang jang mentjoba menganalisa Sedjarah Perang Padri jang mengatakan bahwa Perang Padri, jang disebut djuga perang 'Hitam-Putih" adalah Perang diantara Kaum Adat dengan Kaum Agama. Dan Sanusi Pane dalam bukunja Sedjarah Indonesia dalam hypotese jang dia kemukakan tentang sebab-sebab Perang Padri ialah karena Kaum Padri tidak menjukai Harta Pusaka. Saja mengandjurkan saudara-saudara untuk menjelidiki ini kembali, melainkan peperangan Kaum Agama bersemangat Wahabi di Minangkabau dengan Pendjadjahan Belanda. Ada Ninik-Mamak jang masuk golongan Kaum Padri dan ada pula

34