Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/65

Halaman ini tervalidasi

Kalau tidak demikian, maka akan tidak objeklplah penindjauan Incteri itu dan oleh sebab itu hasil penindjauan itu tidak akan benar.

II. Maka saja mulai dengan Hukum Waris.

Orang Minangkabau menurut adatnja melaksanakan hukum waris kemenakan. Sedangkan agama adalah memiliki hukum waris melalui anak pada umumnja, jaitu hukum faraid, Dan sering terdengar, bahwa dalam hukum waris ini terdapat pertentangan, matahan dikatakan, bahwa dalam hukum waris adat itu adalah melanggar hukum faraid,

Pendapat saja adalah lain. Hukum waris kemenakan adalah djelas bertentangan, berlainan dengan hukum Laraid, Jang demikian ini adalah djelas dan njata.

Tetapi soainja ialah apakah orang Minangkabau dengan hukum waris kemenakannja melanggar hukum faraid, Dengan djelas saja djawab dan njatakan dengan tidak.

Sebabnja ialah oleh karens satu kesatuan (unit) jang terdiri dari ajah, ibu dam anak tidak terdapat dalam adat Minangkabau. Adat Minangkabau hanja mengenal kaum (sesuatu unit jang tebih besar dari gezin). Maka djelaslah orang Minangkabau dengan udat kemenakannja tidak mungkin melanggar hukum faraid jang ketjil itu. sebab alat pelanggar tidak ada padanja.

Hanja tinggal sekarang soal hara penijaharian. bagaimana sesudah dia meninggal?. Dalam hidupnja dia berhak memberikan harta pentjahariannja kepada siapa dia suka, kepada anak atau kepada kemenakannja. Tetapi bagaimana pembahagian harta pentjaharan itu sesudah dia meninggal.

Adalah djelas, bahwa harta pentjabarian jang ditinggalkamnja itu bukanlah harta pusaka kaumnja dan bukan pula harta pusaka kaum anaknja. Djadi dalam soal ini tidaklah adil, kalau terhadap harta ini dipakaikan hukum kemenakan sepemihnja dan djuga tidak adil katau dipergunakan hukum faraid sepenuhnja sadja. Dalam hal ini harus ditjahari keputusan jang scadil-adilnja. Dan pedoman dalam bal ini ada terdapat dalam adat Minangkabau. Sebab menurut adat sesunia pu tusan itu harus adil menurut alur dan parut,

Dan bagi jang meninggal, si anak akan tetap anak, tetapi kemenakan pun akan tetap kemenakan, sungguhpun dia telah meningeal. Alur dan patut harus ditjari (rechtsvinding) jaitu menurut keadaan, ke constelatte dari sesuatu hal.

Maka dalam hal ini, jaitu bahwa anak tetap anak dan kemenakan akan tetap kemenakan dari seseorang jang telah meninggal itu ada suatu pedoman dalam adat bahwa "anak dipangku kemenakan dibimbing”.