Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/72

Halaman ini tervalidasi

digali itu? Menurut saja, sungguhpun pepatah-petitih telah diketahui, tetapi hikmah jang terkandung didalamnja harus digali dan diketemukan. Kalau jang demikian ini telah tertjapai, maka barulah sesuatunja itu dapat diamalkan. Kalau tidak, akan berlakulah pantun:

"Tjintjir banamo Ganto Sori,
sasuai sadjo dikalingkieng".
Tetapi bukan  "Hilang kamano kaditjari,
Lautan sadjo bakulilieng.
Melainkan "Hilang patjajo anak nagari,
Kato djo karadjo indak sairieng".

Hendaknja adat itu sungguh dilaksanakan, dan djanganlah "Datuk itu tinggal disaluek sadjo". Demikianlah umpamanja pepatah jang berbunji:

"Adat badunsanak dunsanak dipatahankan,
Adat basuku, suku dipatahankan,
Adat banagari, nagari patahankan,
Sanda-basanda bak aue djo tabieng."

Hikmah jang terkandung dalamnja, adalah hikmah ber-hierarchie, batingkek naiek batangga turun, jaitu terhadap kepentingan jang lebih besar, kepentingan jang ketjil dikebelakangkan, tetapi tentu dengan tidak mengabaikan kepentingan jang lebih ketjil itu.

Basanda bak aue djo tabieng mengandung hikmah tolong menolong, hikmah kerdja sama. Selandjutnja pepatah berbunji:

"Kamanakan baradjo kemamak,
Mamak baradjo ka mupakat,
Mupakat baradjo ke alue djo patuik".

Disinipun terkandung suatu hierarchie. Dalam kemenakan baradjo ka mamak ini, terkandung hikmah jang dalam, sebab baradjo, jaitu berpemimpin itu, adalah tidak dalam pengertian mutlak-mutlakan, sebab penghulu itu gadangnja digadangkan. Maka siapakah jang lebih besar? Orang jang besar itukah, atau orang jang membesarkan? Dan kemenakan itu adalah menjembah lahir, tetapi mamak adalah menjembah bathin.

Dari sini ternjata, bahwa dalam adat Minangkabau tidak ada terdapat mutlak-mutlakan. Jang ada ialah tupang-batupang, sesuatunja berguna bagi jang lain.

Demikianpun hendaklah ditjahari hikmah dari fatwa,

"Di kaba baiek bahimbauan,
Di kaba buruek bahambauan".
"Kalau tidak titiek dari langik, basuikkan dari bawah".

58