rusak manakala pemerintahan dipegang oleh orang lain, bukan dari keturunannya. Karenanya, disamping dua doa tadi, Rato Ebhu juga senantiasa memohon kepada Allah SWT agar keturunannya kelak, bisa menjadi pucuk pimpinan pemerintahan di Madura. la juga berharap agar pimpinan pemerintahan Madura di masa yang akan datang selalu dijabat oleh keturunannya hingga tujuh generasi.
Konon, menurut cerita yang dihembuskan masyarakat setempat tentang pertapaan Ratho Ebhu, Rato Ebhu dikabarkan bertemu dengan Nabi Khidir As. Dari pertemuan tersebut ia mendapatkan wangsit bahwa permohonannya kepada Tuhan Maha Kuasa dikabulkan. Rato Ebu merasa senang sekali mendengar berita tersebut.
Setelah berjumpa dengan Nabi Khidir dan mendapatkan wangsit, Rato Ebhu merasa bahwa pertapannya sudah cukup. Setelah itu, Rato Ebhu kembali ke Keraton Sampang. Tidak selang beberapa lama, suaminya datang dari bertugas di Kerajaan Mataram. Sebagai istri yang setia, tentu saja Rato Ebhu menyambut kedatangan suaminya dengan senang hati. la bahkan menceritakan apa yang dia alami selama bertapa, termasuk adanya petunjuk bahwa permohonannya agar tujuh turunan mereka kelak memimpin pemerintahan di Madura dikabulkan.
Mendengar penuturan Rato Ebhu, Pangeran Cakraningrat menjadi kecewa sekaligus marah. Ia sangat kecewa terhadap Rato Ebhu yang tidak berpikir panjang ketika berdoa. Menurutnya, doa itu adalah sakral, dan Allah itu Mahakasih, dan seharusnya setiap manusia, mendoakan yang terbaik bagi manusia itu sendiri, bukan setengah-setengah. Mengapa hanya tujuh turunan mereka saja yang ia doakan memerintah Madura. Mengapa tidak selamanya.
Terkejut sekaligus takut akan reaksi dari suaminya yang baru pulang dari Mataram, Rato Ebhu hanya bisa tertunduk sedih. la lantas tidak bicara apapun karena merasa bersalah. Sejak saat itu, Rato Ebhu menjadi pribadi tertutup.
Beberapa hari sejak kejadian itu, Pangeran Cakraningrat berangkat lagi ke Mataram. Rato Ebhu melepas suaminya itu dengan sedih karena ia dapat melihat, di wajah suaminya masih tersisa
87