Halaman:Mortéka dâri Madhurâ Antologi Cerita Rakyat Madura (Edisi Kabupaten Bangkalan).pdf/104

Halaman ini telah diuji baca

kekecewaan yang dalam. la melihat, bisa jadi, itu adalah kesempatannya yang terakhir untuk melepas suaminya pergi. la juga punya firasat, bisa jadi satu diantara ia dan suaminya, akan meninggalkan Madura selamanya. Takut akan firasat itu terjadi, segera, setelah suaminya berangkat, Rato Ebhu bergegas kembali ke pertapaannya.

Dalam pertapaannya yang kedua kalinya, itulah Rato Ebhu memohon agar keinginan suaminya untuk menjadikan seluruh keturunannya bisa menjadi pemimpin pemerintah di Madura dikabulkan Allah SWT. Siang malam Rato Ebhu memohon kepada Allah SWT. Dalam tirakatnya, Rato Ebhu hanyut dalam kesedihan yang dalam. Setiap malam ia berdoa dan menangis. Air matanya yang deras bahkan sampai membanjiri tempat pertapaannya hingga membentuk sendang. Sejak saat itu, sendang itu tidak pernah kering meskipun itu di musim kemarau panjang. Sejak sendang itu muncul, secara ajaib, di dalam sendang itu tiba-tiba bermunculan ikan yang jumlahnya banyak yang oleh warga sekitar disebut sebagai ikan Budur. Sejak saat itu, desa tempat sendang itu berada disebut sebagai Desa Buduran. Desa Buduran ini masih berada di wilayah Arosbaya.

Rato Ebhu bertapa di tempat itu hingga ia wafat. Itulah mengapa, kini, tempat itu disebut sebagai Pasarean Aeng Mata Ebhu (tempat peristirahatan terakhir air mata ibu). Adapun tentang permintaan yang dipanjatkan Rato Ebhu kepada Allah, permintaan itu memang benar-benar terkabul, namun sayangnya, permintaan yang pertama sajalah yang dikabulkan. Setelah Pangeran Cakraningrat meninggal, penerus Madura diambil alih oleh keturunan Pangeran Cakraningrat I, hingga keturunan ke-7. Pada pemerintahan ke delapan, kepemimpinan Madura diambil alih oleh trah yang lain.

88