tentang keadilan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Ia juga memberikan pelayanan pengobatan pada masyarakat yang sedang sakit.
Dari apa yang ia lakukan inilah ia kemudian mendapatkan banyak pengikut. Uniknya, ia tidak pernah mengistilahkan para santrinya sebagai pengikut, tetapi ia menganggapnya sebagai kerabat. Kerabat ini awalnya berjumlah 40 orang, dan seluruhnya telah memiliki pemikiran yang sama untuk berjuang membebaskan tanah Madura, bila perlu sampai Surabaya dari tangan penjajah dan para bangsawan yang menjadi kaki tangan Kompeni Belanda.
Semakin lama, pengikut Ke Lesap yang setia semakin banyak. Tidak hanya rakyat jelata yang menyatakan dukungannya, tetapi juga banyak pembesar-pembesar kerajaan yang ada di Madura yang tidak suka pada Kompeni Belanda juga bergabung dengannya. Kepercayaan diri Ke Lesap yang makin membesar menyebabkan ia mulai berfikir untuk melakukan penaklukan-penaklukan pada kerajaan-kerajaan yang tersebar di Madura.
Ia merasa yakin andaikata kerajaan-kerajaan di Madura ia taklukkan, tidak akan banyak pergolakan setelahnya. Ada dua alasan yang membuatnya yakin. Pertama adalah karena isu yang ia angkat yaitu mengusir Belanda menjadi isu yang mengena di kalangan masyarakat. Kedua, darah biru yang ia miliki, yang merupakan keturunan Cakraningrat V diyakini akan memuluskan langkahnya.
Meskipun Ke Lesap tidak pernah belajar tata cara militer, namun ia diajari teknik bertempur, dan tata cara bertahan hidup dalam pertempuran. Setelah semuanya siap, maka kampanyenya menaklukkan kerajaan-kerajaan Madura dan mengusir Kompeni Belanda dan tanah Madura dimulai.
Pada tahun 1745-1750, bersama panglima perangnya, Raden Buka, ia menyerang Kerajaan Sumenep. Malam itu adalah malam Jumat Kliwon. Pasukan Ke Lesap masuk dan arah timur. Kemudian saat ayam berkokok, semuanya sudah bersiap dan bergerak ketika ada komando. Sumenep menjadi sasaran pertama pasukan Ke Lesap yang berjumlah hanya 40 orang ini. Dalam penyerangan itu, Kerajaan Sumenep dibuat kocar-kacir. Kesaktian Ke Lesap sulit ditandingi. Para prajunt kerajaan kewalahan menghadapinya. Ditambah lagi kodhi
103