Di lain pihak, pada malam harinya, Pangeran Cakraningrat V yang telah putus harapannya untuk menang dari Ke Lesap bermimpi tentang cara mengalahkan Ke Lesap. Mimpi itu ia yakini akan membantunya mengalahkan Ke Lesap. Keesokan harinya, Cakraningrat V menjalankan rencananya. Seorang ronggeng dari Gresik diberinya pakaian yang indah-indah dari keraton dengan diiringi bendera putih dikirimkan kepada Ke Lesap ke Pasanggrahan di Desa Tonjung. Bendera ini dimaknai Ke Lesap sebagai tanda bahwa Cakraningrat V menyerah. Ke Lesap yang sangat gembira menjadi lupa diri dan tidak bersiaga.
Di saat lengah itulah, Pangeran Cakraningrat V dan pasukannya serta serdadu Belanda datang secara tiba-tiba. Tanpa banyak basa-basi, Pangeran Cakraningrat V maju menyerang Ke Lesap menggunakan tombak saktinya Kiai Nenggala. Ke Lesap yang sakti mandraguna itu langsung jatuh terhuyung bersimbah darah. Demi melihat kejadian itu, para pasukan kerajaan Pangeran Cakraningrat V berseru-seru penuh gegap gempita, "Bengkah la'an! Bengkah la'an! Bengkah la'an!" yang berarti "telah matilah". Maka sebagian orang-orang tua memberi arti, bahwa nama Bangkalan berasal dari perkataan tersebut.
Diceritakan pula bahwa mayat Ke Lesap setelah rebah ke tanah kemudian tidak kelihatan atau hilang dan pada saat itu pula terdengar suara di dalam bahasa Madura yang bunyinya: "Ghu' legghu' bila bada bhul-ombhul klalaras gheddang dari temor daja, tandhana sengko' la dateng pole se bhakal malessa da' ba'na". Yang artinya "kelak di kemudian hari, apabila datang suatu bendera dari kelaras daun pisang dari sebelah timur daya, maka itulah tandanya bahwa aku telah datang kembali untuk membalasmu." Adapun maksud sebenarnya dari perkataan tersebut, hingga kini tidak seorang pun yang dapat menerangkan.
107