Halaman:Mortéka dâri Madhurâ Antologi Cerita Rakyat Madura (Edisi Kabupaten Bangkalan).pdf/152

Halaman ini telah diuji baca

gembira. Adapun Pak Takmir, pulang dengan hati gundah. Ia memasrahkan semuanya kepada Allah.

Setelah masjid itu rubuh, para opsir kompeni Belanda menjadi gembira. Mereka merasa telah memenangkan pertempuran dan sesuai dengan hasil pembicaraan, mereka lantas melaksanakan rencana yang kedua. Rakyat yang telah bersusah payah membongkar masjid, tidak mereka bayar. Mereka mengatakan bahwa rakyat itu tidak bekerja merubuhkan masjid karena masjid itu tidak rubuh di tangan mereka tetapi di tangan Pak Takmir. Seharusnya yang dibayar adalah Pak Takmir, bukan mereka. Selain itu, mereka juga menyangkal akan membantu rakyat untuk membuat masjid yang lebih besar. Mereka beralasan, pernyataan itu bukanlah pernyataan resmi dari Kompeni, tetapi pernyataan dari orang-orang pribumi yang bekerja pada Belanda yang bertindak atas nama pribadi sehingga Belanda tidak punya kewajiban melaksanakan hal tersebut. Tidak ada surat tertulis yang dibuat yang menguatkan bukti perjanjian itu. Lagi pula, kondisi Belanda sedang kurang sehat. Keuangan kompeni sedang krisis karena digunakan untuk membiayai perang di tanah Jawa. Jadi mustahil digunakan untuk membangun masjid yang tidak penting fungsinya bagi Kompeni.

Berita ini tentu saja membuat terkejut raktyat Arosbaya. Mereka merasa dibohongi oleh Belanda dan merasa betapa mudahnya dicurangi oleh Kompeni. Sesal pun nampak di wajah-wajah masyarakat yang ikut dalam proses pembongkaran. Upah tidak mereka dapatkan, malah masjid yang mereka rubuhkan.

Puing-puing masjid itu dibiarkan begitu saja tanpa ada yang menyentuh, Selain sebagai pengingat akan kebodohan mereka yang percaya begitu saja kepada Belanda, juga sebagai pengingat bahwa mereka memiliki hutang yang harus di bayar untuk membangun masjid kembali. Masyarakat yang merasa pembongkaran dilaksanakan terlalu dini dan belum siap dengan biaya pembangunan masjid, dengan terpaksa memulai pengumpulan dana lebih awal. Pengumpulan dana itu berjalan lambat karena kondisi Madura waktu itu tidak terlalu bagus. Selain karena faktor kemarau panjang, kondisi politik juga tidak mendukung proses pengumpulan dana. Waktu itu, di

136