tempat yang di rintisnya. Istrinya yang selalu mendukung langkah suaminya, dengan gembira menyetujui ajakan itu. Mereka berdua berangkat dari Pamekasan dengan jalan kaki dengan impian yang besar menuju Kramiyan.
Beberapa waktu kemudian, Adul Qohir dikaruniai seorang puteri yang bernama Karafis. Putrinya ini kemudian tumbuh menjadi gadis dewasa yang jelita dan cerdas. Konon, ia piawai dan alim dalam ilmu alat (Nahwu-Sharraf) sehingga akibat kecerdasan dan budi Karafis ini, banyak pemuda lantas terpana dan terpikat untuk meminangnya. Sayangnya, semuanya ia tolak. Ia berjanji bahwa ia akan tetap kukuh pada pendiriannya untuk tidak akan menikah dengan siapapun sebelum menemukan pria yang mumpuni yang dapat membimbingnya serta mampu memberikan tambahan ilmu pengetahuan. Janji ini ia pegang lama sekali hingga ia oleh masyarakat dijuluki Bhuju' Praban (orang tua yang dihormati yang masih perawan).
Suatu saat, datanglah seorang laki-laki bernama Abdurrahman yang berasal dari Kwanyar, Bangkalan. Tujuan Abdurrahman datang ke rumah Abdul Qohir adalah untuk mendaftar menjadi santri Abdul Qohir. Konon, Abdurrahman, yang masih ada hubungan nashab dari silsilah keturunan Cendana, ini adalah santri pertama dari Abdul Qohir. Setiap hari Abdurrahman tersebut mengaji dengan tekunnya. Adapun Karafis, setiap pagi ketika Kyai Abdul Qohir membacakan kitab kepada para santrinya (yang di dalamnya ada Abdurrahman), sambil menyapu halaman senantiasa menyimak dan mempelajari secara seksama apa yang di sampaikan sang ayah. Ia menjadi pintar dan mengetahui banyak hal karenanya.
Dari hasil pengamatan Abdul Qohir kepada santri-santrinya, ia melihat, bahwa semakin lama Abdul Qohir merasa Abdurrahman tersebut cocok untuk Putrinya. Agar tidak salah melangkah, ia lantas membicarakan niatnya menjodohkan Abdurrahman dengan Karafis kepada sang puteri tersebut Karafis yang mengetahui keutamaan Abdurrahman menyetujui rencana ini. Waktupun telah ditentukan, dan akhirnya mereka resmi dijodohkan. Dari pasangan ini, Abdul
165