Putusan saling bertentangan, misalnya dua orang yang didakwa melakukan delik “ikut serta” (medeplegen) yang perkaranya dipisah, yang satu dijatuhi pidana karena terbukti melakukan delik ikut serta (medeplegen) dengan yang lain, sedangkan yang lain itu diputus bebas atau lepas ari segala tuntutan hukum. Contoh S. Tjandra diputuskan lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatannya itu (cessie) adalah perbuatan perdata bukan pidana. Kemudian, Pande Lubis dijatuhi pidana karena terbukti melakukan perbuatan korupsi (medeplegen) dengan Joko S. Tjandra.
Dalam Rancangan disebut juga Jaksa Agung dapat memohon peninjauan kembali, bukan untuk orang yang diputus bebas, tetapi mereka yang dijatuhi pidana, kemudian ternyata ada novum atau putusan saling bertentangan. Hal ini sama dengan ketentuan dalam KUHAP (Sv) Nederland. Disini Jaksa Agung "mewakili masyarakat", misalnya terpidana itu telah meninggal dunia dan tidak ada ahli waisnya yang mengajukan peninjauan kembali. Di Belgia menteri kehakiman yang dapat memohonan peninjauan kembali.
Masalah yang sering muncul ilah tentang diperkenalkannya bebas
tidak murni (niet zuivere vrijspraak) dalam literatur hukum pidana yang maksudnya hakim memutus bebas dan salah kualifiasi, mestinya
diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Jadi, bebas tidak murni (nietzuivere vrijspraak) itu sama dengan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekt ontslag van alle rechtsvervolging). Sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu diputus lepas dari tuntutan hukum yang mestinya diputus bebas. Dalam hal bebas tidak murni yang pertama dilakukan ialah memeriksa pertimbangan hakim. Jika dalam pertimbangan itu disebut tidak
terbuktinya suatu bagian inti (bestanddeel) delik yang tidak berdasarkan dakwaan, maka itulah yang disebut bebas tidak mumi20. Hal ini tidak ada dalam undang-undang, hanya ditemui dalam doktrin hukum acara pidana, misalnya buku A. Minkenhof: De Nederlandse Strafvordering). Dalam praktik terutama dalam kasus korupsi yang diputus bebas, hamper
20 A. Minkenhof, De Strafvordering, hlm. 242-243
93