Halaman:O Eng Tjaij, Kau Kliroe.pdf/138

Halaman ini tervalidasi

— 138 —

Tetapi masi sadja itoe socara tida maoe berlaloe dari koepingnja, masi sadja itoe bajangan menggoda hatinja.

„Ah GOAN, djanganlah kau begitoe kwatir,“ rasanja kedengeran njata itoe soeara njang sekarang tida bisa berboeat laen dari berbisik. „Enko nanti tanem padanja di kita poenja kebon sendiri, di mana tanahnja ada lebi bagoes dari di sawah en di mana ia tentoe nanti toemboe tertebi bagues dari di sini. Brengkali ia membilang trima kasi pada akoe, njang akoe soeda tjaboet padanja dari sawah ini boeat di pindaken ke laen tempat ujang lebi bagoes.“

Djika sang ajah oepamaken somoea perkatahan anaknja itoe seperti njang di toetoerken di bawa ini, tentoelah pikirannja bisa legahan dari pada djengkel tida brentinja, kerna; apatah sang anak satoe tempo tida moesti mati, tida moesti di pindaken dari doenia njang fana ini ke laen tempat, di mana sorganja Allah, njang tanahnja ada lebi gemoek, en di mana tida brentinja menjorot mata hari boeat membikin loeas padanja, seperti tida satoe anak menoesia di kolong doenia ini aken alamken? Kerna adat, seperti HOK OEN mempoenjai, ada tida setimpal boeat ini doenia njang kedjem. Adat njang begitoe gampang menanggoeng doeka, di doenia ini boekan tempatnja, en adat njang soeka mentjari kegirangan, tidalah laen tempat njang lebi sampoerna dari pada bilangan sebla kanan dari tangannja Allah. Hari berganti hari keadahan HOK OEN tida beroba, malahan kebanjakan ia tida inget orang.