Halaman:Pantja-Sila oleh H. Rosin.pdf/13

Halaman ini telah diuji baca

Djika seandainja kelima ruang perisai lentjana itu betul-betul hendak disesuaikan dengan Pantja-Sila, maka rantai itu seharusnja terletak ditempat banteng, banteng ditempat padi dan kapas, dan padi dan kapas ditempat rantai wadja. Ataukah memang benar, bahwa maksudnja tidak lain dari pada melukiskan Pantja-Sila itu, dan hanjalah karena dipandang dari sudut aesthetika sadja, maka ditentukan susunan jang lain dengan keempat ruang itu?

Bagian III pasal 3 Undang-undang Dasar Sementara Republik In- donesia, alinea ketiga berbunji sebagai berikut: „Meterai dan lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah.”

Tentang ini kita mendapatkan tjatatan dalam kitab jang ditulis oleh Prof. Dr. Supomo sebagai berikut: „Ichtisar Parlemen, tg. 16 Pebruari 1950 no. 1 memuat berita, bahwa sidang Dewan Menteri R.I.S. tg. 11 Pebruari 1950 telah mengesahkan Lambang Negara R.I.S. jang direntjanakan oleh Panitya Lentjana Negara menurut bagian III pasal 3 Konstitusi R.I.S.”

Djadi lentjana negara sendiri terdjadi pada masa ini, beberapa tahun setelah pentjiptaan Pantja-Sila dan karena itu mungkin terpengaruh oleh Pantja-Sila. Akan tetapi lambang-lambang lentjana ini satu persatu, sebahagian mempunjai asal dari waktu jang lampau, jang sedjarahnja sukar diperhubungkan dengan Pantja-Sila. Menurut keterangan Prof. Dr. Poerbotjaroko banteng itu mulai dipakai sebagai lambang pada tahun 1924 di Den Haag, pada waktu Perhimpunan Indonesia didirikan. Pohon beringin menundjukkan zaman kuno, menundjukkan mythe Hindu jang sangat tua, akan tetapi untuk mempergunakan gambarnja sebagai lambang, adalah sesuatu jang baru dan tidak biasa. Dan sebagai pohon dunia, pohon beringin itu mula-mulanja tidaklah sebagai lambang nasional. Padi dan kapas adalah kiasan-kiasan jang tua sekali tentang kebutuhan hidup bangsa. Lambang-lambang ini menghiasi djuga pinggir lentjana Solo dan Jogjakarta dan kita dapat menjaksikannja dikraton kedua tempat itu. Rantai wadja sebagai lambang ikatan jang kuat adalah baru, dan demikian djuga bintang tidaklah mempunjai tradisi Indonesia. Djadi dipandang dari sudut sedjarah, dapatlah dikatakan, bahwa hanja sedikit sadja atau mungkin sama sekali tidak ada hubungan antara Pantja-Sila dan kelima lambang lentjana negara, ketjuali bilangan lima.

Akan tetapi terlepas dari pada uraian tentang urutan dan asal: Dapatkah gambar-gambar ini dipakai untuk benar-benar melambang-

9