Halaman:Pantja-Sila oleh H. Rosin.pdf/15

Halaman ini telah diuji baca

unsur baru, jaitu: kebudajaan, dimana pekerdjaan manusia dan tenaga alam saling bertemu. Dengan pohon beringin, jang mengambil daja tumbuhnja jang tak habis-habisnja itu dari bumi jang selama-lamanja subur, berhubungan — dalam ruang-putih jang lain — hasil kerdja sama antara bumi dan manusia: padi dan kapas; sedangkan dengan banteng, jang mempunjai tenaga djantan untuk pertahanan diri, berhubungan rantai wadja, jang menundjukkan pula kesenian dan teknik, daja berorganisasi dan kehendak untuk bersatu.

Djadi perisai itu melukiskan ruang tenaga-tenaga, jang hendak mentjapai kesatuan harmonis. Tenaga-tenaga tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, merupakan seluruhnja tenaga hidup dan tjipta dari bangsa Indonesia. Tenaga banteng dan pohon beringin sendiri adalah tenaga alam jang buta. Demikian djuga akan terdjadi dengan tenaga bangsa, bilamana tidak dipimpin dan didjinakkan, diikat dan dibebaskan. Akan tetapi siapakah jang akan mendjamin, bahwa hal ini sugguh-sungguh akan dilakukan? Siapa jang mendjaga, supaja ada harmoni jang diperlukan dalam gerakan tenaga-tenaga jang bertentangan? Manusiakah dalam fungsinja jng lebih kulturil, sebagai pengolah tanah, homo technicus, homo politicus? Akan tetapi mampukah ia untuk melakukannja, djikalau ia sendiri djuga dalam fungsi ini pada dasarnja berpikir setjara naturalis? Akan berhasilkah ia, djika kebudajaan, teknik dan politik djuga, hanjalah bentuk-bentuk alam jang lebih tinggi sadja dan hanja untuk memperkuat tenaga dan memperbesar kekuasaan sadja?

Tidakkah pada penghabisannja bagi kita hanja tinggal nasib sadja, jang menguasai segala sesuatu, dan hanja kepertjajaan jang optimistis kepada bintang terang jang membawa Indonesia pada waktu ia mulai dengan sedjarahnja? Bahkan, bukankah bintang itu — ditengah-tengah alam pikiran naturalis ini — menundjukkan kekurangan dan keragu-raguan dan kebimbangan? Bukankah bintang ini bintang untung jang tak dapat dipertjajai — untung jang harus kita miliki, supaja berhasil dalam penghidupan — akan tetapi jang dapat djuga meninggalkan kita.

c) Djadi kita tidak pertjaja, bahwa lentjana negara Indonesia dengan lambangnja jang naturalis, dapat membawa kita kepada interpretasi jang tepat tentang Pantja-Sila, dan oleh karena itu kita mentjari djalan jang lain untuk menafsirkannja. Dalam hal ini kita dapat ditolong, kalau kita memperhatikan dimana Pantja Sila itu ditempat-

11