Halaman:Pantja-Sila oleh H. Rosin.pdf/35

Halaman ini telah diuji baca

siaan. Bagaimanakah suatu bangsa dapat mendjadi berperi-kemanusiaan? Dengan djalan menghilangkan perbedaan-perbedaan golongan dan bangsa dan Jain-lain, jang dibawa dan dihidup-hidupkan oleh pikiran, bahwa diri sendiri lebih tinggi atau lebih kurang dari pada jang lain.

5) Apakah jang seharusnja mendjadi arti pengakuan keTuhanan jang Maha Esa dalam hubungan ini? Ialah begini: bahwa harus ada perdjoangan rohani untuk perdamaian dan kesedjahteraan. Bahwa perdjoangan rohani ini dengan tidak terbatas harus dapat menembus sampai pertanjaan-pertanjaan jang paling achir dan paling dalam. Bahwa harus diadakan kemungkinan untuk membawa didepan umum pertanjaan ini: Siapa Allah jang pohon perdamaian dan kesedjahteraan itu (Rum 15 : 33). Negara jang begitu adalah jang paling mendekati perdamaian dan kesedjahteraan, jaitu Negara jang tidak menghalang-halangi pertanjaan itu dipersoalkan. Djadi perkataan-perkataan „Ke Tuhanan jang Maha Esa” itu bukanlah suatu mantera, jang dapat dipakai negara untuk mengachiri perdjoangan rohani. Perkataan-perkataan itu bukanlah suatu sembojan, jang dipakai oleh suatu pemerintah untuk memerintahkan perdamaian antara bermatjam-matjam agama. Bukanlah djuga suatu pengakuan iman, suatu sahadat, jang dapat diletakkan oleh Negara kepada warga-negara-warga-negaranja. Anggapan jang sedemikian dari KeTuhanan jang Maha Esa akan bertentangan dengan Perikemanusiaan dan Kerakjatan. Anggapan ini akan bertentangan djuga dengan isi Undang-undang Dasar Sementara. Anggapan ini akan menggangegu perdamaian jang sesungguhnja didalam negeri. Perdamaian agama jang sebenarnja terdjadi dan terdapat disana, dimana negara ini sebenarbenarnja melindungi perbedaan-perbedaan agama dan tidak mengadakan usaha, untuk mengumumkan kepertjajaan kesatuan dan religi kesatuan, pengakuan iman kesatuan untuk warga negara semuanja. „Bukan sadja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknja bertuhan Tuhannja sendiri.” (Presiden Soekarno) Dalam suatu negara, jang didasarkan atas Pantja-Sila, dengan sendirinja orang-orang itu tidak saling membunuh lagi disebabkan oleh perkara-perkara agama, melainkan, bahwa perbedaan-perbedaan dalam lapangan keagamaan terbukti „setjara kebudajaan” dan „dengan tjara jang berkeadaban” (Presiden Soekarno) dan bahwa prinsip

31