Apakah gunanja, djika feodalisme jang lama dari kaum ningrat dipatahkan, sedangkan sebagai penggantinja timbul feodalisme jang baru dari kaum kapitalis, jaitu kekuasaan „bangsawan uang”!
b) Suatu kebangsaan jang tidak sosial, tidak berharga. Hal itu telah dinjatakan dengan dijelas oleh Soetan Sjahrir dalam bukunja „Perdjuangan kita”. Suatu revolusi, jang bukanlah revolusi sosial, adalah suatu keributan sadja, tetapi bukanlah revolusi jang sebetulnja. Pembebasan daripada kuasa pendjadjahan haruslah mengakibatkan kebebasan semua orang miskin dan orang tertindas. Penindas lama tidak boleh diganti dengan penindas baru. Djuga kemerdekaan tidak dapat dibagi-bagi: Kemerdekaan dan kebebasan adalah milik semua orang.
c) Suatu peri-kemanusiaan jang tidak berakibatkan keadilan sosial tetaplah mendjadi suatu teori, suatu tjita-tjita tidak dengan kenjataan, suatu roh tidak dengan tubuh. Seseorang dapat mendjadi seorang humanist jang besar dalam teori dan mentjintai seluruh umat manusia: „Seid umschlungen, Millionen, diesen Kuss der ganzen Welt”! Akan tetapi orang itu djuga, dalam prakteknja dapat menolak untuk pergi kepada penghuni rimbu sebagai guru atau dokter.
d) Suatu agama, jang tidak memperhatikan dan memberantas penderitaan sosial, memang benar „madat untuk rakjat!” Karena Tuhan Allah itu tiada dapat diketemukan dalam agama jang demikian. Tuhan Allah hendak menolong manusia, baik tubuh maupun djiwa. Tuhan Allah adalah pembalas dari segala ketidak-adilan. Tuhan Allah telah mendjadi miskin, untuk mendjadi kita kaja: „Karena kamu mengetahui anugetah Tuhan kita Jesus Kristus bahwa Ia, walaupun kaja, tetapi mendjadi papa karena sebab kaum, supaja kaum ini dengan djalan kepapaannja itu mendjadi kaja”! (2 Korintus 8 : 9). Tuhan Jang Maha Esa telah menderita kelaparan, untuk mengenjangkan orang-orang jang menderita kelaparan. Maka Tuhan Allah itu berdjalan melalui segala pintu gerbang semua sila, supaja Ia sebagai orang petani mengembalikan hak orang-orang miskin.
Dari sini kita mengambil kesimpulan jang berikut: bahwa setiap konperensi tentang Pantjasila mesti gagal, djikalau pada hari jang penghabisan baru dibitjarakan dengan sungguh-sungguh soal-soal „rakjat” dan „buruh”. Marilah kita djuga mulai tidak diawang-
awang, akan tetapi diatas bumi ini; sebab Tuhan Allah telah men-
49