Halaman:Pantjasila oleh Ki Hadjar Dewantara.pdf/19

Halaman ini tervalidasi

― 13 ―

jang sangat menarik perhatian ialah terpaksanja pihak Belanda, jang selaku „N. I. C. A.” bersama - sama datang dengan Tentara Sekutu untuk mengoper kembali daerah djadjahan-nja „Hindia Belanda”, menurut persetudjuan Potsdam. Saja ulangi: terpaksanja pihak Belanda, mengakui setjara „de facto” adanja „Republik Indonesia”. Saja ingat datangnja Majoor Abdul Kadir Widjojoatmodjo, bersama² dengan wakil² Sekutu, mengundjungi Presiden Sukarno dan Wakil-Presiden Hatta, di rumah Pegangsaan Timur 56, untuk menjatakan kesediaan mengakui Republik kita itu sebagai „goodrill” dari pihak Belanda. Barang tentu dengan maksud: „voor wat hoort wat”, artinja: untuk kesediaan itu pihak Belanda minta kesediaan kembali dari Republik, jaitu untuk bersama-sama mengurus Kepulauan Indonesia. Kedjadian inilah, jang berlangsung pada bulan sesudah Proklamasi Kemerdekaan kita, jang kelak mengakibatkan tumbuhnja sikap bekerdja bersama antara Republik dan N. I. C. A., jang memuntjak pada lahirnja persetudjuan Linggadjati hingga sekarang. Ini semua disebabkan, karena seluruh Dunia mengetahui, bahwa revolusi kita adalah perdjuangan rakjat Indonesia untuk mendirikan Negara Hukum, jang ber-Pantja-sila, dan dipimpin, dituntun dan diatur menurut program pelaksanaan jang pasti dan tertentu. Teringatlah saja disini pada suatu peribahasa klasik kita jang berbunji: „Sura dira djajaning rat, lebur déning pangastuti”; artinja: segala keberanian, kekuatan, dan kedja aan di-undia ini, tak akan dapat mengalahkan kesutjian. Kesu-tjian inilah jang sanggup melebur, menghantjurkan segala angkara-murka di-dunia ini, walaupun bersendjatakan kekuasaan dan kekuatan keduniawian apapun, tetapi tidak berdasarkan kesutjian dan tidak bersendikan keadilan.

Disamping kejakinan akan besarnja pengaruh Pantja-sila pada mereka, jang ingin terus menguasai kita, hendak-nja kita insjafi pula, bahwa Pantja-sila itu memberi kekuatan jang besar kepada kita sendiri, untuk meneruskan perdjuangan kita, jang kita insjafi sebagai perdjuangan, jang sutji, djudjur dan bidjaksana, sebagai perdjuangan jang ber-Pantja-sila dan oleh karenanja ta' dapat di-alahkan oleh kekuatan apapun di dunia ini. Sekali lagi: „Sura