— 269 —
di itoe masa Djamea poenja hati sama sekali tida ada di dapoer.
Meliat masakannja djadi tida kaoeroesan begitoe, djoega ia tida djadi iboek. Ia boewang di peroempoetan, samantara hatinja tinggal mengomong, katanja:
„Bolehnja heran, engga bisa pikir! Boeat katemoe kan masi banjak hari?—kanapa soeda siang bolehnja masi saling tahan sampe tengari? Kaloe diliat begini djalannja, engga lama lagi tentoe bakal kataoehan. Samingkin lama dia berdoewa-doewain djadi samingkin brani, masa kamana parannja. . . . . ."
Koetika itoe dengen koenjoeng-koenjoeng pintoe di loear terboekah dengen kadoemprangan. Djamea, jang djadi sanget terkedjoet, lantas melongok, dan di itoe waktoe djoega ia poenja kaki lantas djadi seperti terpantek di boemi. Doewa matanja sendiri ada meliat dengen teges sekali, jang pintoe soeda diboekah oleh ia poenja baba jang toelen, ia poenja baba Kek-soen, jang kamoedian sigra djoega masoek ka dalem, mengamperi padanja.
Orang itoe, jang ada bajar gadji terang padanja, kaliatan ada bertindak dengen tersanga-sanga, kamoedian laloe menanja dengen soeara koerang sabar:
„Si nona ada di mana?"
Djamea tida menjaoet. Ia poenja hati di dalem berkelotokan keras sekali.