Halaman:Perahu Madura.pdf/29

Halaman ini telah diuji baca

kau selamat saya selamat. Kalau engkau celaka saya celaka. Tetapi saya minta selamat. Marilah engkau berjalan lebih dalu).

Untuk memantapkan keadaan perahu, sebelum berangkat diadakan dialog-dialog dengan bagian perahu. Sebagai contoh dialog dengan kemudi dan tiang layar.

Apabila menurunkan dayung kemudi:

Aku menurunkan cendi, yang pengiket putri alungguh · dan putri atingguh.

(Saya menurunkan tuan, yang mengikat putri duduk dan putri bersila)

Apabila berdialog dengan tiang :

Aropa apa e ada', tiyang banne, banne. Pulau komengen, settongga panggiling, banne kaba' tembaga.

(Berupa apa didepan, tiang bukan, bukan. Pulau sekeliling, yang satu bambu tepi layar, bukan kawat tembaga) (Kemudian layar dibuka dan "kellad" atau tali layar ditarik)

Kattek tello kale - jawaba sang kellad talena angen (Diadu tiga kali jawab sang kellad tali angin)

Apabila ombak besar, di Kebondadap ada penolak sebagai berikut (Sebelum ombak besar sampai ke perahu, napas dikeluarkan semua oleh pemegang kemudi. Setelah sampai ke perahu ombak besar tersebut tidak membuat oleng sama sekali, "tak agunjal".

Di Giligenting bila berlayar ke lautan luas menghadapi angin dan ombak, mantra yang dibaca adalah:

Linu fatala bumi sang antauga.

(Akulah penjaga seluruh bumi)

Kiranya apabila rahasia mantra ini boleh dibuka dengan rela oleh para pinisepuh, mungkin dapat dijadikan buku tersendiri, sebagai bagian religi sastra lama.

Dari beberapa kitab yang berbau kebatinan, yang ilmunya di Madura disebut " ilmu tua", ban yak kita dapati tulisan-tulisan, perlambang yang berbentuk perahu. Biasanya kegunaannya untuk tolak bala, jampi-jampi ataupun "tumbal". Dalam kitab-kitab tersebut, yang judulnya tidak penulis ketahui, hanya ada yang menyebut "Bismillah kama, "Primbon Pancabara, terdapat tulisan atau gambar bercorak perahu sebagai berikut:

24