murid. Tidak begitu banjak buku peladjaran jang dipakai, dan perpustakaan sekolah djuga tidak begitu diperkembangkan.
Di Inggeris dan Amerika misalnja, murid-murid setjepat mungkin dibiasakan mentjari sendiri fakta-fakta jang perlu diketahuinja dari buku-buku referensi atau ensiklopedi. Akan tetapi seperti halnja dalam pendidikan rendah, pembaruan dalam metode mengadjar disekolah menengah djuga sudah mulai berdjalan di Perantjis.
Pada umumnja sekolah-sekolah Perantjis tidak banjak ”bumbu-bumbunja” seperti di Amerika. Misalnja usaha menjiapkan murid untuk mendjadi warga-negara jang baik dengan melalui klub-klub dan organisasi-organisasi sekolah, tidak begitu berkembang di Perantjis. Hampir setengah dari murid-murid sekolah menengah masuk asrama, dimana disiplin pada umumnja agak keras dibawah pengawasan seorang pengawas (surveillant) jang tugasnja chusus untuk itu.
Seperti sudah disinggung diatas, olah-raga sering-kali dikesamping-kan dalam kurikulum, karena banjaknja mata-peladjaran jang harusdiselesaikan untuk udjian, meskipun dalam hal ini sudah diharapkan akan ada perubahan dengan pengangkatan seorang komisaris tinggi untuk membantu Menteri Pendidikan dilapangan kepemudaan dan olah-raga.
Meskipun sukar sebenarnja untuk mengadakan perbandingan antara mutu baccalauréat dan udjian-udjian penghabisan sekolah menengah dinegeri-negeri lain, karena dasar filsafat dan tudjuannja berlainan, baiklah kita perhatikan disini beberapa usaha membandingkannja.
Misalnja seorang penindjau dari Inggeris sendiri mengatakan bahwa djumlah buku jang harus dibatja untuk udjian bahasa Inggeris hampir sama dengan jang diwadjibkan bagi udjian Advanced Level dari General Certificate of Education di Inggeris sendiri. Sukarnja_per-tanjaan di Perantjis djuga sering melebihi jang di Inggeris meskipun anak-anak itu menghadapinja sebagai bahasa asing!
Dengan taraf tamatan sekolah menengah Amerika lebih sukar lagi perbandingannja. Akan tetapi menurut R.M. Hutchins, bekas_presiden Universitas Chicago, lulusan baccalauréat pada permulaan abad ini sama 'pengetahuannja dengan gabungan pengetahuan dari 3 (sic!) orang tamatan collége di Amerika Serikat, sedang anak Perantjis itu berumur 18 dan anak Amerika berumur 22 tahun.
Djadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Perantjis masih terus bersifat intelektualistis dan kelihatannja para orang tua dan
masjarakat memang mengharapkan bahwa sekolah seharusnja mengasah otak sianak dan menuntunnja kearah ketadjaman berfikir. Soal penjesuaian diri pada dunia sekeliling dan segala hal jang diluar soal akademis, dianggap mendjadi tugas rumah tangga dan lembaga-lembaga lainnja.
33