Halaman:Perbandingan Pendidikan.pdf/84

Halaman ini tervalidasi

Sedjak tahun 1911 di London dan Manchester sudah ada sekolah seperti itu, jang agak praktis dan tjenderung kearah sekolah dagang dan teknik. Lalu diandjurkan djuga agar dalam sekolah-sekolah rendah negeri diadakan kelas-kelas landjutan (senior classes) untuk dimasuki oleh anak-anak jang tidak masuk salah satu dari kedua djenis sekolah tersebut. Untuk mengisi kebutuhan industri setempat, maka diperlukan pula sekolah-sekolah teknik pertama dan sekolah-sekolah kedjuruan lainnja, jang dimasuki pada umur 13 tahun.

Seleksi untuk masuk salah satu sekolah jang disebut itu ialah suatu udjian tertulis dan kalau mungkin, ditambah dengan udjian lisan. Untuk mereka jang merupakan keragu-raguan, akan diadakan psiko- test tertulis. Pada umur 12 dan 13 tahun harus diadakan pula kemungkinan pindah dari djenis sekolah jang satu ke jang lainnja. Kalau ternjata jang ditentukan pada umur 11 tahun itu tidak sesuai.

Adalah mendjadi tudjuan dari laporan itu bahwa semua djenis sekolah akan dianggap oleh fihak resmi sama deradjatnja dan sekolah modern serta kelas landjutan tidak boleh dianggap “sekolah angka dua”. Dikalangan rakjat banjak anggapan itu belum berubah sampai sekarang, jaitu bahwa hanja grammar schoollah jang bernilai.

Pada umumnja dianut anggapan bahwa Laporan Hadow itu besar artinja. Akan tetapi banjak kesukaran jang dihadapi dalam pelaksanaan andjuran-andjuran tersebut. Misalnja, untuk mengadakan reorganisasi sekolah landjutan urusan-urusan pendidikan daerah harus mengadakan perombakan gedung-gedung atau djuga mendirikan gedung baru. Oleh karena kesukaran keuangan, bantuan 50% dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan gedung-gedung terpaksa ditarik pada tahun 1931, sesudah berlangsung 1 tahun lebih. Namun demikian, reorganisasi berdjalan djuga dan menurut taksiran, 63.5% dari anak-anak diatas umur 11 tahun sudah ada dalam suatu sekolah menengah pada tahun 1938.

Djuga soal pengangkutan merupakan persoalan, terutama didaerah pedesaaan. Kalau dahulu anak-anak dapat masuk sekolah dikampungnja sendiri sesudah lewat umur 11 tahun, maka sesudah tahun 1926 sering mereka harus pergi ketempat jang djauh untuk pendidikannja.

Djuga timbul persoalan dalam hubungan dengan dualisme Geredja-Negara, jang sudah berkali-kali kita singgung diatas. Sekolah Anglikan, jang dahulunja meliputi kelas I sampai VIIT, jaitu sampai anak berumur 13/14 tahun, sering harus “dipenggal” bagian atasnja sesuai dengan keinginan Laporan Hadow. Dan kalau tidak ada sekolah landjutan Anglikan jang dekat, maka terpaksalah anak-anak dimasukkan kesekolah negeri, jang tidak begitu disukai oleh orangtua dan terutama oleh fihak geredja.

Dan untuk merombak gedung-gedung, badan-badan swasta itu terpaksa dihadapkan dengan biaja jang amat besar, Dalam tahun 1936

62