Halaman:Pola-Pola Kebudajaan.pdf/209

Halaman ini tervalidasi

210

POLA-POLA KEBUDAJAAN

sekali nampak perasaan sedih, namun peristiwa-kehilangan inipun dianggap sebagai suatu peristiwa jang kritis, dimana perlu sekali diusahakan supaja sifat penting dari peristiwa ini diperketjil sedapat mungkin. Dikalangan orang² Kwakiutl, terlepas dari ada atau tiadaNja perasaan sedih jang benar², maka adat kebiasaan² dalam menghadapi peristiwa berkabung merupakan tjontoh² gila perasaan kebesaran dalam kebudajaan, dimana kematian seorang kerabat dirasakan sebagai malu dan dimana diusahakan supaja rasa malu ini dapat diperbaiki kembali. Dikalangan penduduk Dobu tatatjara-berkabung ada persamaannja dengan jang berlaku dikalangan orang² Kwakiutl, meskipun mereka terutama sekali mementingkan hukuman² jang didjatuhkan oleh kerabat² orang jang mati kepada suami (isteri) nja jang dianggapnja sebagai pembunuh si mati itu, Oléh karera itu hal ini berarti, bahwa tatatjara²-berkabung bertolak lagi dari anggaran Dobu jang lazim — jang dipergunakan pada berbagai peristiwa, — bahwa soalnja ialah pengchianatan, sehingga penjelesaiannja harus ditjari dalam bentuk seorang korban, jang bisa didjatuhi hukuman.

Bagi suatu tradisi adalah sangat mudah sekali untuk mempergunakan situasi apapun dan jang bagaimanapun, jang terdjadi selama hidup seorang manusia, untuk mewudjudkan tudjuan², jang pada hekékatnja tiada hubungannja dengan peristiwa tersebut. Watak sebenarnja dari peristiwa itu bisa samasekali ditiadakan seperti halnja misalnja kematian orang jang samasekali tiada hubungannja dengan penjakit itu, atau apabila haid pertama seorang gadis didjadikan alasan untuk mem-bagi² hampir seluruh kekajaan sesuatu suku. Berkabung, perkawinan, upatjara²-pubertét atau tatatjara² ékonomi semuanja itu bukanlah kelakuan² manusia jang chas, jang ditentukan oléh dorongan² dan motif²nja sendiri, jang telah berkembang dimasa lampau jang djuga mengandung kemungkinan² bagi masa depan, akan tetapi sebaliknja merupakan peristiwa² chusus, jang dipergunakan oléh setiap masjarakat untuk menjatakan tudjuan² kebudajaannja jang terpenting.

Dilihat dari pendirian ini, maka kesatuan sosiologis jang berarti bukanlah adat-istiadat atau lembaga itu sendiri, akan tetapi kebudajaan itu sebagai keseluruhan. Penjelidikan mengenai keluarga, ékonomi primitif, dan tjita² susila harus di-petjah² mendjadi penjelidikan² dimana tekanan harus diletakkan kepada berbagai kebudajaan² itu jang pada tiap² peristiwa telah menguasai tjiri² ini. Dalam suatu diskussi, jang hanja terbatas kepada penindjauan keluarga sadja, tidak bisa kita mendapat gambaran jang djelas daripada tjiri² kehidupan orang² Kwakiutl jang anéh itu dan menafsirkan kelakuan² orarg² Kwakiutl dalam perkawinan dari keadaan perkawinan jang chas itu. Demikian pula, per-