iii Di sisi lain, lembaga praperadilan yang keberadaannya dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional tidak berjalan sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukannya. Pada awalnya, lembaga praperadilan diharapkan sebagai suatu bagian mekanisme sistem peradilan yang memberikan hak kepada tersangka berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengawan atas jalannya suatu upaya paksa dalam proses penyidikan dan/atau penuntutan atas dirinya. Namun niat ini tidak berhasil oleh karena praperadilan dalam rumusan KUHAP lebih mengarah pada pengawasan administratif belaka. Misalnya, praperadilan tidak dapat digunakan untuk menguji (i) apakah asas yuridis dan nesesitas dalam upaya paksa itu abash dalam arti materill; (ii) apakah “bukti permulaan yang cukup” sebagai dasar untuk menentukan status sebagai tersangka dan kemudian dapat menetapkan upaya paksa seperti penahanan absah secara materill. Dengan demikian, sesungguhnya ada “kekosongan hukum” dalam lembaga praperadilan yang mengacu pada maksud dibentuknya lembaga praperadilan itu, yaitu melindungi hak asasi manusia dari tersangka dan terdakwa. Pada akhirnya, kekosongan hukum tersebut dapat diisi oleh suatu yurisprudensi atau melalui pembentukan hukum acara pidana yang baru dan mengatur hal-hal tersebut sebagaimana pembahasan RUU KUHAP yang sedang berjalan saat ini. “Naskah Riset dan Pedoman Penahanan dan Praperadilan Penahanan” yang disiapkan oleh ICJR dan didukung Open Society Justice Initiative ini tentunya sangat bermanfaat dalam konteks hal-hal di atas. Jakarta, Desember 2013 Dr.Luhut MP Pangaribuan, S.H., LL.M.
Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/4
Halaman ini belum diuji baca