Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/5

Halaman ini belum diuji baca

iv Kata Pengantar Institute for Criminal Justice Reform Salah satu masalah mendasar yang sering menjadi perdebatan hangat di kalangan komunitas hukum adalah mengenai upaya paksa yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum, terutama Penyidik dan Penuntut Umum. Secara umum, upaya paksa yang dikenal dalam sistem peradilan pidana modern di dunia ini adalah upaya paksa di bidang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan. Dan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum seharusnya tunduk dibawah pengawasan Pengadilan (judicial scrutiny). Mestinya tak ada satupun upaya paksa yang dapat lepas dari pengawasan Pengadilan sehingga upaya paksa yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum tersebut tidak dilakukan secara sewenang wenang yang berakibat pada terlanggarnya hak – hak dan kebebasan sipil dari seseorang. Persis pada prinsip judicial scrutiny inilah yang justru tidak ditemukan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHAP. Pada saat diundangkannya, KUHAP disebut – sebut sebagai karya agung Bangsa Indonesia, tak heran karena pada saat itu, hanya KUHAPlah yang secara terang – terangan menyebutkan Hak Asasi Manusia secara eksplisit. Namun, sekali lagi, tindakan pengawasan dari Pengadilan bisa dikatakan absen pada setiap tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Salah satu hal mendesak untuk segera dilakukannya perbaikan, dikarenakan saat ini berada pada titik yang paling bawah adalah mengenai penahanan pra persidangan (pre trial detention). Harus diakui, terminologi penahanan pra persidangan tidak dikenal di dalam KUHAP, karena yang dikenal adalah penahanan berdasarkan instansi yang menahan. Secara universal terminologi penahanan pra persidangan adalah sangat beragam, dan untuk kepentingan riset ini, ICJR menggunakan terminologi penahanan pra persidangan adalah penahanan yang diterapkan terhadap tersangka sebelum dimulainya persidangan pertama secara resmi. Secara singkat penahanan pra persidangan dalam riset ini merujuk pada penahanan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Kenapa hal ini menjadi sangat krusial? Salah satu alasannya yang paling mendasar adalah buruknya situasi dan kondisi di rumah – rumah tahanan. Rumah – rumah tahanan, ataupun tempat – tempat lain yang digunakan untuk menahan tersangka di Indonesia, saat ini boleh dikata sudah dalam kondisi over crowded yang akut. Situasi ini akhirnya memunculkan beragam persoalan kesehatan yang dialami oleh para tahanan. Tak hanya persoalan kesehatan, namun penerapan penahanan pra persidangan juga memunculkan beragam masalah lain seperti terbukanya kemungkinan terjadinya praktek komodifikasi dan juga perkelahian antar tahanan atau kelompok tahanan. Selain itu, pengawasan terbatas dari peradilan—melalui mekanisme praperadilan terhadap institusi penyidik— menjadikan tindakan sewenang-wenang kerap kali terjadi terhadap para tahanan dalam bentuk penyiksaan, baik fisik maupun psikis, selama proses penyidikan. Setidaknya, ICJR mengidentifikasi dua hal yang menjadi penyebab utama dari situasi ini. Pertama, karena absennya pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) dalam setiap tahapan yang terdapat dalam KUHAP saat ini. Kedua, ketiadaan elaborasi yang mendalam terhadap syarat sahnya penahanan sebagaimana terdapat dalam Pasal 21 KUHAP. Meski ada lembaga praperadilan sebagai mekanisme komplain terhadap upaya paksa, namun dalam praktiknya lembaga ini hanya berkutat pada persoalan administrative dari dilakukannya penahanan oleh pejabat yang berwenang, dan masalah lain yang tak kalah penting untuk dibenahi yaitu minimnya pengaturan hukum acara Praperadilan di dalam KUHAP.