Ada pendapat yang menyatakan bahwa gugurnya permintaan dalam Pasal 82 ayat (1) tidak mengurangi/tidak dianggap mengurangi hak tersangka, sebab semua permintaan itu dapat ditampung kembali oleh PN dalam pemeriksaan pokok, khususnya tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan.
Apa yang tidak bisa diperoleh pemohon pada praperadilan dapat dialihkan pengajuannya ke PN. Hanya saja, proses dan tatacaranya semakin panjang, khususnya mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi yang pengajuannya baru diperkenankan setelah perkaranya diputus dan putusan itu sendiri telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan, jika hal itu diajukan kepada praperadilan maka prosesnya lebih singkat dan lebih cepat.[1]
Pada praktiknya, pendapat ini banyak ditolak oleh Hakim dan sangat jarang dilakukan bahkan mungkin tidak pernah dilakukan.[2] Banyak hakim berpendapat, hal Ini akan menimbulkan masalah terkait dengan locus dan tempus tindakan penyidik. Misalnya dalam perkara Tipikor, karena perkara praperadilan diajukan di PN Jaksel sementara perkara pokok ada di PN Jakpus. Bagaimana hakim di PN Jaksel mengetahui perkara pokok disidangkan di PN Jakpus?
C.5. Upaya banding praperadilan
Pada awalnya, tidak semua putusan praperadilan dapat dimintakan banding. Sebaliknya, tidak seluruh putusan praperadilan tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding. Hal ini diatur dalam Pasal 83 KUHAP, yang menyatakan bahwa putusan praperadilan dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
Dalam praktiknya, hampir seluruh putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Hal ini dianggap sesuai dengan asas hukum acara yang menyangkut tata cara pemeriksaan praperadilan. Demikian juga dari tujuan pelembagaan praperadilan untuk mewujudkan putusan dan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat. Jika putusan praperadilan diperkenankan upaya banding, hal ini tidak sejalan dengan sifat, tujuan, dan ciri untuk singkatnya putusan dan kepastian hukum dapat.
Namun, berdasarkan perkembangan terbaru, khususnya setelah Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 tertanggal 1 Mei 2012 mengenai pengujian KUHAP terhadap UUD 1945, seluruh putusan praperadilan termasuk yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) tidak dapat lagi dimintakan banding ke PT.
MK berpendapat, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP.[3]
=== C.6. Penghentian praperadilan ===
- ↑ Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan ... Op.Cit., hal. 16.
- ↑ Monograf diskusi terbatas ICJR, hakim pemeriksaan pendahuluan dalam RKUHAP 2012.
- ↑ Dalam Putusan No. 65/PUU-IX/2011, Pemohon sebenarnya memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan agar Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi, Namun Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan sebagian dari Permohonan pemohon yaitu menyatakan bahwa Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan konstitusi. Sejak saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka seluruh Putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding.