Halaman:RerumNovarum.djvu/10

Halaman ini telah diuji baca

kewajiban-­kewajiban yang berdasarkan keadilan mengikat buruh tanpa milik: memenuhi dengan setia dan sepenuhnya kontrak kerja mana pun yang dibuatnya secara bebas dan wajar; tidak menimbulkan kerusakan pada harta­-milik, atau merugikan pribadi majikannya; menghindari penggunaan kekerasan dalam membela kepentingan-­kepentingannya dan usaha­-usaha menimbulkan kericuhan dalam masyarakat; menghindari pergaulan dengan orang-­orang berprinsip jahat, yang menggunakan janji-­janji licik tentang hasil usaha yang besar, untuk menimbulkan harapan-­harapan berlebihan, yang hanya dapat berakhir dengan kekecewaan yang sia-­sia belaka dan kerugian yang besar. Di pihak lain, majikan yang kaya jangan memperlakukan para buruhnya sebagai budak­budaknya, melainkan harus menghormati mereka sebagai manusia yang martabat pribadinya sederajat dengan dia, bahkan menjadi sangat luhur karena panggilan Kristiani mereka. Baik nalar kodrati maupun filsafat Kristiani sepakat, bahwa mempunyai kesibukan yang berpenghasilan tidak memalukan. Itu justru terpuji, karena memberinya penghasilan tidak memalukan. Itu justru terpuji, karena memberinya rezeki hidup yang terhormat. Yang sungguh memalukan dan melanggar perikemanusiaan yakni menyalahgunakan manusia sebagai alat mencari keuntungan dan menghargainya melulu sebagai tenaga dan sumberdaya. Ada kewajiban untuk tetap memperhatikan kebutuhan-­kebutuhan keagamaan dan kesejahteraan jiwa mereka yang tak empunya. Maka majikan wajib mengusahakan, agar buruh mempunyai waktu untuk kewajiban­-kewajiban keagamaannya; agar ia jangan sampai terkena oleh pengaruh­-pengaruh yang merusak dan terjerumus ke dalam kesempatan berdosa; supaya ia jangan melalaikan tugas­-tugas rumahtangganya dan menyimpang dari pemakaian bijaksana upah kerjanya. Lagi pula majikan jangan membebankan tugas-­tugas melampaui kekuatan manusia, atau yang sifatnya tidak cocok dengan usia dan jenisnya. Akan tetapi di antara kewajiban-­kewajiban utama majikan yang terpenting ialah memberi kepada semua dan setiap orang apa yang adil. Tentu saja ada banyak hal yang perlu diindahkan, bila dipertimbangkan norma upah yang adil. Tetapi jangan sampai para pemilik upaya­-upaya produksi yang kaya dan kaum majikan melupakan, bahwa hukum ilahi maupun manusiawi melarang mereka memeras kaum miskin yang menderita demi keuntungan atau untuk beroleh laba dari sesama yang tak berdaya. Merampas dari orang upah yang menjadi haknya berarti menjalankan dosa yang sungguh berat, yang berseru ke langit mengundang pembalasan. ” Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu” (Yak 5:4). Akhirnya para pemilik upaya­upaya produksi yang kaya harus secermat­cermatnya mengusahakan, jangan sampai dengan cara mana pun merugikan tabungan–tabungan kaum buruh yang tak empunya, entah melalui paksaan, tipu muslihat, atau