tepatnya kesimpulan itu dari masa ke masa. Konklusi itu dibenarkan dan dikukuhkan oleh undang-undang sipil, yang bila adil beroleh kekuatannya mengikat dari hukum kodrati. Kewibawaan Sepuluh Perintah Allah masih lebih meneguhkannya lagi, dengan melarang keras setiap keinginan akan apa yang dimiliki oleh sesama:”Jangan mengingini isteri sesamamu laki-laki atau perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Ul 5:21).
10. Relevansi hak-hak semacam itu yang melekat pada manusia perorangan jauh lebih mudah dimengerti, bila hak-hak itu ditinjau dalam perspektif hubungan serta kesesuaiannya dengan kewajiban-kewajiban yang oleh hubungan kekerabatan dibebankan padanya. Pantang disangsikan, bahwa tiap orang –bila mau mengadakan keputusan tentang status hidup– bebas sepenuhnya untuk memilih antara mengikuti nasehat Kristus tentang keperawanan dan mengikat diri dengan ikatan-ikatan pernikahan. Tiada hukum manusiawi dapat menghapus hak asli kodrati manusia untuk menikah, atau entah bagaimana membatasi tujuan utama pernikahan, yang sejak semula ditetapkan oleh kewibawaan Allah: ”Beranak-cuculah dan bertambahlah banyak” (Kej 1:28). Maka muncullah keluarga, rukun hidup rumahtangga, yang kendati kecil, merupakan paguyuban yang sejati dan lebih kuno dari negara mana pun juga; dengan kata lain, rukun hidup yang harus mempunyai hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya sendiri, sama sekali terlepas dari negara. Maka hak atas pemilikan, yang seperti ternyata diberikan oleh kodrat kepada orang perorangan, harus ada pula pada pria sebagai kepala keluarga. Hak itu semakin kuat sejauh pribadi manusia kian berkembang dalam kelompok keluarga.
11. Hukum kodrati yang keramat menetapkan, bahwa kepala keluarga wajib memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan menyediakan kemudahan hidup bagi anak-anaknya. Kodrat itu mendorongnya juga untuk mau menyediakan bagi anak-anaknya –yang mengingatkan akan pribadinya dan dalam arti tertentu memperluasnya– taraf perlindungan yang sewajarnya terhadap kemalangan dalam perjalanan hidup yang tidak menentu. Itu hanya dapat dijalankan dengan mewariskan harta-milik yang membuahkan penghasilan kepada anak-anak sebagai ahli warisnya. Telah dikatakan bahwa keluarga itu rukun hidup yang sejati seperti negara, dan seperti negara pula memiliki sumber pemerintahannya sendiri, yakni kewenangan ayah. Asal kewenangan itu tetap berada dalam batas-batas yang digariskan oleh tujuannya yang khas, keluarga karena itu sekurang-kurangnya mempunyai hak-hak yang sama seperti negara, yakni: memiliki dan menggunakan apa pun yang diperlukan untuk kehidupan dan kebebasannya yang sewajarnya. Kami katakan: sekurangkurangnya mempunyai hak-hak yang sama. Sejauh rumahtangga mendahului negara, baik dalam pemikiran maupun menurut kenyataan, keluarga juga harus mempunyai hak-hak maupun kewajiban-kewajiban utama, yang langsung sekali berakar dalam kodrat manusia. Penolakan terhadap negara cepat akan menggantikan keinginan