Halaman:Rimba-Rimba.pdf/202

Halaman ini tervalidasi

Rimba-Rimba

'Mengapa hatiku begitu damai melihatmu? Mengapa jiwaku seakan tenang jika berada di dekawmu?' Ia teringat lelaki yang menjadi murid mengaji buya Malin Mandaro itu.

“Johan, di manakah Uda sekarang?" batinnya terasa disesak rindu yang sangat.

Setiap hari mereka selalu bertemu di surau itu. Minah yang malu-malu selalu duduk di bagian belakang. Sedangkan Johan sering duduk di depan. Mata mereka sesekali beradu. Hanya ketika pulang saja mereka sempat berkomunikasi. Itu pun tidak terlalu bisa bicara banyak karena biasanya Minah selalu berjalan bersama ibunya.

Kesempatan yang paling ditunggu-tunggu itu pun datang. Mereka sama-sama menjadi panitia peringatan maulid nabi.

“Saya senang melihat kamu,” kata Johan.

Minah hanya malu-malu mendengar kata hati Johan itu.

Sebagai perempuan Minang, dia tahu harus bercaksi scperti apa. Mukanya memerah. Selendang putih itu dikibaskannya pelan. Sesekali ia menatap Johan, namun ia tidak mampu berkata apapun.

Johan memberanikan diri menggengam tangan putih nan mulus itu.

“Ahhhhges...jangan..” katanya.

“Tidak apa-apa,” kata Johan.

“Nanti dilihat Buya. Tidak enak...”

Johan pun melepaskan tangan itu. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba Buya datang.

Itu kali pertama dan terakhir mereka bisa semesra itu. Selanjutya Johan pergi ke Padangpanjang untuk memperdalam ilmu agama. Selanjutnya, perang pecah. Mereka terpisah jauh.