Halaman:Sarinah.pdf/33

Halaman ini telah diuji baca

kandangnya. Maka senantiasa kaum yang mengurung perempuannya itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup isteri-isterinya dan puteri-puterinya itu ialah untuk memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, untuk memuliakan kedudukan mereka. Ya ... "memuliakan" mereka ... tetapi "memuliakan" mereka dengan memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi dan si tolol!

Adakah ini berarti, bahwa hidup si kuli perempuan atau si tani perempuan yang tidak sangat terikat kepada rumah tangga, sudah boleh dikatakan enak? Ah, perempuan Marhaen!

Ah, Sarinah! Pulang dari berkuli di paberik atau di kebun, pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang berpuluh kilo meter jauhnya itu, masih menunggu lagi kepada mereka di rumah pekerjaan buat sang suami dan sang anak. Masih menunggu pada mereka lagi pekerjaan menanak nasi, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, memasak gulai. Sang suami habis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, ... tunggu dipanggil makan, tetapi Sarinah, – habis kerja di luar rumah masih adalah kerja lagi baginya di dalam dapur atau di dekat sumur. Bagi laki-laki adalah "kerja delapan jam sehari" atau "kerja sepuluh jam sehari". Tetapi bagi Sarinah zaman sekarang ini, hidup adalah berarti keluh-kesah terus-menerus, gangguan fikiran terus- menerus, dari fajar menyingsing sampai di tengah malam ...

Kapankah matahari akan bersinar lagi bagi Sarinah itu?

Dulu, di dalam kabutnya zaman purbakala, dulu pernah Sarinah itu menduduki takhta-takhta kerajaan, dulu pernah ia bernama Ratu Simha di negeri Kalinga atau Bundo Kandung di negeri Pagar Ruyung. Dulu pernah ia bernama Srikandi yang mengepalai peperangan. Dulu, di Nippon, ia, menurut Van Kol dan Prof. De Visser, pernah berabad-abad lamanya memegang kecakrawartian masyarakat: "Urusan rumah-tangga dan urusan anak-anak mereka serahkan kepada pelayan-pelayan, dan berlomba-lombalah mereka dengan orang-orang lelaki di atas lapangan ilmu dan perpustakaan. Di atas lapangan sya’ir mereka sama tingginya dengan kaum laki-laki, di atas lapangan prosa mereka memukul samasekali kaum laki-laki itu. Sehingga sampai di

33