Halaman:Sastra Lisan Minangkabau.pdf/20

Halaman ini telah diuji baca

Kenapa hal ini terjadi? Tentu saja ada beberapa sebab, tapi sebab yang penting adalah oleh semakin longgarnya ikatan tradisi masyarakat tempat sastra lisan tersebut hidup.


2.2 Hakikat Pepatah dan Perkembangannya

Sastra lisan pepatah sudah semenjak lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau. Malah kelahiran pepatah ini disebabkan oleh kecenderungan watak masyarakat Minangkabau.

Di dalam masyarakat Minangkabau segala sesuatu lebih banyak disampaikan secara sindiran atau berupa tamsilan. Kemampuan seseorang untuk menyampaikan sesuatu dalam bentuk sindiran dan tamsilan dianggap sebagai ciri kebijaksanaan. Demikian juga bagi orang yang menerima. Kemampuan memahami tamsilan dan sindiran dianggap pula sebagai ciri kearifan.

Pepatah termasuk salah satu bentuk tamsilan atau sindiran tersebut. Berasal dari kata “patah” yang setelah melalui proses reduplikasi sehingga menjadi “pepatah”. Pepatah digunakan untuk pematahkan pembicaraan orang lain secara halus dan berbentuk sindiran atau tamsilan.

Ungkapan atau kalimat pepatah biasanya berbentuk tetap. Untuk hal tertentu sudah ada ungkapan yang tertentu pula. Biasanya berbentuk kalimat atau sekurang-kurangnya berupa kelompok kata.

Pepatah ini adalah juga alat untuk melahirkan pikiran dan perasaan secara tidak langsung terhadap apa yang dimaksudnya dengan jalan kiasan. Karena itu, berpantun adalah cara yang baik untuk menyampaikan nasihat, teguran, anjuran, dan sindiran serta mudah pula ditangkap oleh orang yang menerimanya. Hal ini merupakan tanda akan kepekaan perasaan yang dimiliki masyarakat, di samping sebagai suatu petunjuk bahwa diperlukan rasa bahasa yang tinggi untuk dapat menyampaikan dan menerima pepatah. Tidak mungkin seseorang akan menyampaikan isi hatinya kepada orang lain dengan pepatah, seandainya si penerima tidak mempunyai perasaan yang peka dan rasa bahasa yang tinggi.

“Bagaimana kita akan dapat menikmati indahnya suatu bahasa seandainya kita tidak dapat menguasai dan mengusahakan keindahan yang terdapat dalam kesusastraannya. Dengan cara bagaimanakah kita akan dapat menikmati lezat cita rasanya suatu hasil kesusastraan seandainya kita tidak dapat memahami apa yang tersembunyi dalam pepatah-petitih, atau pribahasa serta tamsil dan ibarat yang terdapat dalam bahasa bersangkutan, oleh karena pepatah-petitih itu adalah laksana mata air yang tak pernah kering-keringnya walau di panas terik sekalipun” (Sabaruddin Ahmad, 1954).

6