ditempuhlah jalan besar, dilihat orang kanan kiri, orang banyak memberi hormat, bukan main besarnya hati, pikiran rasa di awang-awang, gunung pun hendak dilangkahi.
Karena lama lambat di jalan, bersua jalan bersimpang dua, sesimpang ke Koto Panjang, sesim pang lagi ke Balai Tinggi, pasar nan sedang sangat ramainya, banyak orang berjual beli.
Melihat bendi Angku Kapalo, menyisih orang ke tepi, mengangkat tangan memberi hormat, berhentilah Angku Kapalo, singgah sebentar dalam pekan, tegak di simpang pintu pagar, melihat orang pulang pergi, banyak anak gadis nan dipandang, mata tak lepas memandangi.
Tampaklah pula anak gadis, berjalan berdua adik kakak, beban dijunjung di kepala, tersirap darah di dada, dilihatlah anak gadis itu, jarang terlihat dalam negeri, tak rendah juga tak tinggi, rupanya kuning-kuning langsat, mukanya bulat daun padi, pipinya bak pauh dilayang, telinganya jerat tertahan, dagunya awan tergantung, bulu matanya semut beriring, jarinya lilin tertuang, dadanya jombang pinggangnya ramping, jalannya lemah gemulai, maju sedikit surut nan lebih, semut terinjak tak mati, jarang gadis seelok itu, bak puti turun dari langit.
Melihat rupa seperti itu, terkilir iman Angku Kapalo, jakunnya pun turun naik, tak lepas mata memandang, sampai hilang dilihat juga.
Melihat rupa seperti itu, gelak bergumam Juru Tulih, "Inilah tua-tua keladi, tak ingat hidup kan mati, namun selera tajam jua, kapan ingatan kan surut, uban sudah penuh di kepala, ingatan pada gadis jua, anak cucu sudah selusin, namun pikiran muda jua."
Angku Kapalo lalu berkata, berkata pada Juru Tulih, "Kamu mengenal anak itu, anak siapa gerangan gadis itu, jarang anak nan secantik dia."
Menjawablah Juru Tulih, "Adapun kedua anak itu, anak dari mandeh Fatimah, bapaknya Pakiah Sutan, kemenakan kandung
7