Halaman:Siti Kalasun.pdf/64

Halaman ini telah diuji baca

sepatu kulit kuning mengkilat,jando si Ani dahulunya, sekarang ia membujang, baru kembali dari Medan.

 Halnya Sutan Palindih, kereta dikayuh berlambat-lambat, memandang wajah Siti Kalasun, memandang rupa si Kalasun,melihat rancak kalasun, rupo putih muka bulat, seperti bulan empat belas.

 Karena memandang-mandang juga, bertemu mata-sama mata, terpikat hati si Palindih, terkena kedipan sudut mata, seperti pantun orang:

Kunang-kunang terbang ke dusun
Hinggap di atap palanta;
tidak mati kena racun
Mati dibunuh sudut mata.

 Menyapa Siti Kalasun, “Oi Tuan Palindih, singgahlah dahulu, saya hendak bertanya, tidak bagus duduk di halaman, mari ke rumah kita berunding.”

Ke rumah Sutan Palindih, diletakan kereta, di dekat pohon jambu, ia naik ke rumah, duduk berjuntai di kursi, dalam beranda rumah Kalasun.

“Kapan Tuan pulang, ada selamat perjalanan, di Medan juga Tuan merantau?” tanya Siti Kalasun.

Menjawab Sutan Palindih, “Sudah tiga hari saya pulang, merantau dari Medan.”

Menyahut pula si Kalasun, “Adakah lama Tuan di rumah?’

“Belum tentu lama atau lambatnya, dicari dahulu pengganti si Ani, bagusnya beristri di kampung, daripada beristri di rantau orang,” jawabnya Sutan Palindih, berkata sambil menyindir.

“Kalau dilihat orang lain, banyak beristri di rantau orang, kalau kawin dengan orang dagang, alamat bakubua di rantau orang, jangan berharap kembali pulang, orang dagang kuat pekasih, sudah banyak saya lihat.

53