Halaman:Sultan Hasanudin menentang VOC.pdf/278

Halaman ini tervalidasi

ibukota kerajaan Gowa. Lokasinya dapat dipastikan ada di daerah tempat desa Sapiria sekarang. Hal ini diperkuat oleh sebuah keterangan tertulis di dalam kontrak tertanggal 16 Oktober 1781 pada waktu penobatan Raja Gowa yang ke XXIX I. Mannawari Karaeng Bontolangkasa Karaeng Mangasa Sultan Abdulhadi menggantikan ayah beliau Raja Gowa yang ke XXVIII I. Tommasongeng Karaeng Katangka Sultan Zainudin Tumenanga ri Mattoanging yang wafat pada tanggal 15 September 1778.

Di dalam pasal 2 kontrak tersebut ada disebut nama daerah yang bernama daerah Sapiria atau Sombaopu. Kontrak tertanggal 16 Oktober 1781 antara Raja Gowa yang bergelar Sultan Abdulhadi dan Belanda (V.O.C.) itu dimuat di dalam karangan B. Erkelens dengan judul "Geschiedenis van bet rijk Gowa" dalam Verhandelinger. Van bet Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappe, deel I. Batavia 1897.

Jadi perlu kami tegaskan di sini bahwa ibukota dan bandar teramai pada jaman kejayaan kerajaan Gowa yang selalu mendapat kunjungan orang-orang asing BUKANLAH KOTA MAKASAR ATAU UJUNG PANDANG SEKARANG, AKAN TETAPI SOMBAOPU. Dalam buku-buku pelajaran sejarah baik yang ditulis oleh orang-orang asing, maupun dan bahkan yang ditulis oleh ahli-ahli sejarah bangsa Indonesia sendiri sering dinyatakan bahwa Makasar atau Ujung Pandang adalah ibukota dan bandar yang teramai pada jaman kejayaan kerajaan Gowa. Hal ini tidak benar dan salah.

Sebelum benteng Sombaopu jatuh pada tanggal 24 Juni 1669. Benteng Sombaopu itulah yang menjadi tempat kediaman Raja Gowa dan menjadi ibukota serta bandar teramai kerajaan Gowa. Bahwasanya ibukota kerajaan di mana Raja atau Sultan serta para pembesar dan pegawai kerajaan bertempat tinggal dan sekaligus merupakan benteng pertahanan yang dilindungi oleh dinding atau tembok-lingkar (ringmuur) yang tebal dan diperlengkapi dengan senjata meriam atau alat-alat pertahanan lainnya adalah ciri umum bagi sebuah ibukota kerajaan di sekitar "abad pertengahan". Di luar benteng atau tembok-lingkar tinggal para prajurit dan keluarganya, tukang-tukang atau pandai-pandai, para pedagang atau saudagar, para penduduk atau rakyat biasa dan jikalau ada, juga para perantau dan pedagang bangsa asing.


261