agung-agungkan hanya karena orang itu keturunan ningrat. Harga atau nilai seseorang tidak boleh lagi ditentukan oleh darah, keturunan atau kelahirannya. Harga atau nilai seseorang ditentukan oleh diri pribadi dan jasa-jasa perbuatannya terhadap nusa dan bangsa, oleh sikap dan tingkah-lakunya di dalam kehidupan sehari-hari. Namun karena pembagian masyarakat dan tingkatan-tingkatannya pernah dan mungkin masih merupakan suatu faktor yang amat penting di dalam masyarakat Bugis-Makasar, maka tidak ada jeleknya jikalau kami uraikan juga secara singkat di sini. Paling sedikit hal ini memperluas dan menambah pengetahuan kita tentang masyarakat Bugis-Makasar, terutama pada zaman yang lampau. Apalagi karena hal ini erat sangkut-pautnya dengan sejarah Sultan Hasanudin yang dalam tulisan ini hendak kami uraikan dari pelbagai segi pendekatannya.
Buku ”La Towa” yakni buku yang merupakan kumpulan sabda-sabda dan petuah-petuah atau nasehat-nasehat para Raja dan orang-orang cerdik pandai pada zaman dahulu kala, sering dijadikan pedoman hidup oleh orang-orang Bugis-Makasar. Di dalam buku ini antara lain ditegaskan bahwa kemakmuran dan kekayaan suatu masyarakat atau sebuah negeri ditentukan oleh empat hal atau perkara, yakni:
- Undang-undang
- Bicara (peradilan) .
- Wari′ (yakni pembagian tingkatan di dalam masyarakat) dankemudian setelah agama Islam masuk serta berkembang di Sulawesi-Selatan ditambah dengan satu hal lagi, yakni
- Syara′ (undang-undang Islam)
Agar supaya kita tidak terlalu jauh menyimpang dari uraian kami, baiklah kita memperhatikan saja apa yang disebut ”Wari′”. Seperti telah disebutkan di atas, wari′ ialah pembagian tingkat=tingkat di dalam masyarakat Bugis-Makasar. Di Gowa masyarakat dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yakni:
a. ANAK KARAENG, artinya Anak Raja-Raja
b. TUMARADEKA, artinya orang merdeka. Yang dimaksud dengan orang merdeka di sini ialah rakyat banyak.
21