Halaman:Sutan Lembak Tuah.pdf/36

Halaman ini belum diuji baca

yang semak-semak ragu, mendengar orang bermufakat, darah di dada tidak senang.

Baru mendengar nama Lembak Tuah, berminyak muka kesukaan, sejuk pikiran masa itu, hati suka tiada terkira, kasih tertumpah sejak dulu, di wajah tidak kelihatan, pandai membuhul tidak membuku, sejak semasa datang mendoa, kasih terdorong ke Sutan Lembak Tuah.

Kayu kelat madang di lurah
Dikikis lalu dikempiskan;
Hati lekat pandang tak sudah
Di wajah tiada berkesan.

Selasih di Bengkulu
Tumbuh di dekat kayu kelat;
Kasih berpalun sejak dulu
Disimpan saja dalam hati.

Pulau pandan jauh di tengah
Di balik pulau angsa dua;
Hilang badan dikandung tanah
Jasa si Lembak terkenang jua.

Akan hal mandeh Rabiatun, sejak mufakat di rumah gadang, dicari hari yang baik, dihitung-hitung pelangkahan, diundang manti Amai Rapiah, orang cerdik cendikia, pandai berunding kias dan banding, orang yang arif bijaksana, tahu di ujung kata sampai, terkilat ikan dalam air, tentulah jantan betinanya.

Telah datang Amai Rapiah, duduk bersimpuh tengah rumah, oleh mandeh si Rabiatun, berkata Ia kala itu, “Duhai Kakak Amai Rapiah, ini sirih makanlah dulu.”

Lama sebentar antaranya, ditating nasi oleh Rabiatun, cukup dengan kopi daun kawa, serta air pencuci tangan. Oleh beliau Amai Rapiah, dimakan nasi seketika, disuap nasi sesuap, cukup ketiga kenyangnya lah sudah, dicuci tangan setelahnya.

25