ULASAN TIM KONSULTAN
PENERJEMAHAN
Upaya penerjemahan kaba ke dalam bahasa Indonesia
pernah dilakukan setidaknya pada dua masa, yakni tahun 1880-an
dan tahun 1920-an. Penerjemahan tahun 1880-an terjadi karena
populernya cerita berbentuk hikayat yang sesuai sifatnya
membutuhkan cerita-cerita anonim, sementara penerjemahan
tahun 1920-an dilakukan untuk kebutuhan pertunjukan tonil, nama
lain sandiwara, pada zaman penjajahan Belanda. Sutan Manangkerang
(1885) dan Maninjau Ari (1891), misalnya, adalah contoh kaba yang
pernah diterjemahkan sebagai hikayat, sedangkan kaba-kaba yang
diterjemahkan sebagai tonil bisa dilihat pada kaba Cindua Mato (1924)
atau Sabai Nan Aluih (1929).
Akan tetapi, bila dicermati, penerjemahan kaba dalam bentuk hikayat maupun untuk kebutuhan naskah dalam pementasan tonil, tidak bisa disebut sebagai penerjemahan kaba ke dalam bahasa Indonesia. Kedua upaya penerjemahan dimaksud, dengan segera bisa kita lihat, telah menghilangkan karakter atau substansi kaba yang sangat kental sebagai prosa berirama. Dalam prosa berirama, hal yang paling menentukan, tak lain tak bukan, adalah hadirnya unsur-unsur bunyi yang bisa didendangkan. Itulah sebab, dalam pembukaan berbagai kaba, lazim tercantum pantun berikut: