Halaman:Taman Siswa.pdf/12

Halaman ini tervalidasi

dalil²nja mendjadi lima, dan untuk pertama kali memuat latar belakang, jang selama ini didiamkan, walaupun dengan kata² universil.

„Kalau tidak ada mistik angka² itu, jang bagi saja tidak ada artinja sama sekali, dapat kita memakai hanja dua sila, sebab jang lain² adalah akibat dari jang dua itu”, demikianlah pendapat Pak Said.

Jang dua ini ialah Kodrat Alam, kalau perlu bisa diartikan sebagai Kodrat Ilahi dan Kemerdekaan. Jang lain ialah Kebudajaan, Kebangsaan dan Kemanusiaan.

Pendapatnja tentang dalil² ini ada didjelaskan Moh. Said dalam suatu lezing (pembatjaan) dalam bulan Desember 1950 untuk Jajasan Kerdja-sama Kebudajaan di Djakarta, pendapat mana dapat disimpulkan seperti berikut: Manusia adalah pentjipta kebudajaan. Ia mendjelmakan apa jang benar dan dengan tjara demikian turut bekerdja untuk hidup, itulah kebahagiaannja dan kehormatannja. Tudjuan jang dipaksakan oleh djenis (jakni setjara sociologis dan individuil) harus kita terima dengan aktif. Inilah suatu aspek (segi) dari alam, jang harus diperlukan, supaja kita sampai kepada pendjelmaan djiwa: jang taklogis ialah sjarat untuk jang logis. Sebab itu alam dan djiwa tidaklah bermusuhan. Demikianlah djuga napsu adalah suatu sjarat jang diperlukan untuk hidup. Keselarasan dengan chuluk sendiri adalah perlu untuk dapat sampai kepada suatu pribadi jang agak bulat.

Djika kita dapat menganggap pendapat ini sebagai tambahan (pertumbuhan) dari tudjuan semula kepihak kemanusiaan jang tak konfensionil, pada S. Mangun sarkoro, jang telah kita kutip didepan ini, salah satu pemimpin Taman Siswa jang mendahului Moh. Said di Djakarta, kita dapati, dalam suatu pendjelasan tentang sembojan waktu mendirikan Taman Siswa, dengan tegas memungkinkan assimilasi dari segala kejakinan² agama: „Bukanlah tiap² agama dapat dianggap sebagai pendjelmaan Kehendak Allah? Kesempurnaan manusia adalah tudjuan tiap² agama. Djadi siapa jang menjerahkan hidupnja untuk itu, hidup sesuai dengan Kehendak Allah dan siapa jang berbuat demikian, merasa dirinja satu dengan Dia”. (Kol: Studien 1938, hal. 596). Dari sini ditariknja kesimpulan, bahwa waktu mentjapai tjita²nja, tiap² agama dapat dipakai oleh Taman Siswa sebagai pembimbing.

Djika dalam mentjari alasan ini menurut arti jang sebenarnja masih dapat kita berkata ini-itu, maka praktik mengadjarkan, bahwa dalam Taman Siswa memang guru² (dan murid²) dari berbagai-bagai kejakinan agama dapat bekerdja-sama, dan memang diberikan djuga kesempatan kepada tiap² orang, dengan rasa hormat kepada kejakinan masing², untuk memenuhi kewadjiban² agamanja, djuga dalam djam² sekolah, sehingga misalnja sebelum perang di Padang tiap² hari Djum'at dapat kita lihat guru² Taman Siswa dengan murid²nja berbaris dengan baik pergi kemesdjid.

Untuk mendjelaskan ini, dengan berpegang kepada asal Djawa Taman Siswa, dapat kita tundjukkan tjorak synkretis dari pendapat² agama orang Djawa (dunia tjara berpikir Djawa terbuka djuga untuk kita dalam memilih setjara bebas Kodrat Alam dan Kodrat Ilahi) atau tjorak formil dari berbagai-bagai kejakinan agama dikebanjakan daerah² Indonesia, dua segi (aspek) dari satu soal barangkali. Selandjutnja toleransi di TamanSiswa dapat kita bandingkan dengan prinsip sekolah² pemerintah di Eropah, dimana djuga setjara formil diterima guru² jang tidak beragama. Malahan pemimpin² Taman Siswa dilarang aktif bekerdja untuk sesuatu

9