Halaman:Taman Siswa.pdf/24

Halaman ini tervalidasi

latar belakang Taman Siswa, walaupun sebagai latar belakang sendiri dari pemimpinnja, demikian menarik hati saja. Pembatjaan seperti itu mengingatkan saja kepada perkataan pendjaga Borobudur jang mentjeritakan, bahwa masih selalu sering orang² Djokja terkemuka merenung-renung ditingkat jang tertinggi pada malam² terang bulan.

Saja bawa pertjakapan itu kepada titik permulaan Taman Siswa jang bertjorak religi itu. Tidakkah hal itu mengandung bahaja untuk fatalismus adjaran takdir Timur?

― Apa jang saja artikan dengan takdir ilahi adalah kodrat alam, djawab Dewantoro. Oleh orang² Islam modern takdir djuga telah diartikan sebagai hasil (resultante) dari alam dan tindakan manusia.

Saja mentjeritakan bahwa arti utjapan „apa boleh buat” adalah saja peladjari dari Pak Said dan bagaimana sukatjitanja dengan utjapan itu adalah mengherankan saja, sebab itu ia dengan langkah²nja jang penting itu telah djuga mendjadi suatu kebalikan jang hidup dari mentalitet ini.

Dewantoro tertawa dan saja bertanja apa pendapatnja selandjutnja tentang peranan sosial konservatif dari adjaran karma, seperti jang disebarkan teosofi di Eropah misalnja kepada babu², supaja bersenang hati dalam nasibnja terhadap nasib perempuan² lain sesamanja. Apakah pikiran tuan tentang kelahiran kembali (reïncarnasi)?

― Saja pertjaja akan itu, tetapi hanja dalam hal karma-dasar: adjar bukanlah karma.

Untuk saja sendiri saja terdjemahkan adjar segera dengan phaenotype, djadi dasar saja artikan sebagai genotype, tabi'at bawaan.

― Prinsip kebangsawanan saja anggap tidak sesuai dengan kodrat, kata Dewantoro, jang telah meninggalkan sendiri gelar kebangsawanannja, jang karena asalnja dari turunan radja berhak atasnja.

Saja kagum lagi akan sifat keluasan dari pendapat² orang Djawa. Sebentar kemudian Dewantoro memberikan bukti, bahwa ia masih mengingat kelahiran kembali, ketika ia mengatakan tentang pemain gamelan orang Belanda, Bernard Yzerdraad jang dikirim oleh Jajasan Kerdjasama Kebudajaan ke Indonesia dan beberapa waktu tinggal pada Taman Siswa di Djokja: Mungkin djuga, bahwa ia orang Djawa dahulu dalam hidupnja jang lalu.

Saja mentjeritakan apa jang saja dengar tentang teman dulu ini dari satu kota: bahwa selama perang ia sendiri tinggal dinegeri Belanda, orang tuanja di Indonesia, dan bahwa pada suatu razzia ia lari ke Koloniaal Museum, dimana ia mulai beladjar main gamelan untuk kemudian membentuk dikota Haarlem suatu kumpulan pemain gamelan, bersama-sama dengan teman²nja murid H.B.S., barangkali terdorong oleh kenang2annja semasa ketjil kepulau Djawa.

Saja tidak lupa djuga memakai kesempatan ini untuk menanjakan, bagaimanakah pikirannja tentang nasib kerdjasama kebudajaan dikemudian hari.

― Masih terlalu pagi untuk itu. Kami sekarang masih terlalu banjak berada dalam tingkat politik. Selidiki tuan sadjalah, bagaimana besarnja kehilangan Nederland dengan Indonesia dan mereka sekarang sungguhlah malaikat², apabila mereka tidak mentjoba dengan segala djalan untuk memelihara sebanjak mungkin

19