Halaman:Taman Siswa.pdf/26

Halaman ini tervalidasi

5

Iklim:
politik pengadjaran Gubernemen.

Mempengaruhi penduduk Indonesia dalam lapangan kebudajaan dengan perantaraan pengadjaran gubernemen barulah berarti sedikit dalam abad keduapuluh. Dalam abad ketudjuh-belas dan kedelapanbelas pemerintah kolonial Belanda setjara prinsipiel adalah keadaan jang tak terelakkan, keadaan jang datang kemudian dari suatu kompani dagang, jang telah tumbuh mendjadi kebun² perusahaan jang kokoh. Adalah dalam tangan kompani ini sendiri, jang dalam waktu bahwa pentjampuran negara dengan pengadjaran belum ada terdapat, telah terkenal dalam djasa²nja dengan menganggap tugasnja untuk memberi pengadjaran kepada anak² Belanda dan anak² penduduk bumiputera jang beragama Kristen (jang pada mulanja karena pendidikan mereka oleh orang Portugis setjara katolik harus dididik mendjadi orang Protestan). Dalam abad kesembilanbelas pada mulanja hanjalah setjara teoretis sadja ada terdjadi perobahan dan dalam praktik masih tetap dituruti petundjuk, bahwa harus sedikit mungkin ditjampuri perhubungan² dan keadaan² masjarakat penduduk asli, jakni hanja dalam hal apabila organisasi jang telah ada lalai dalam memelihara ketertiban dan keamanan dan dalam hal apabila diperlukan untuk mempererat kesatuan administratif Gubernemen, dan untuk itu telah tjukup hanja mengadjari kepala² pemerintahan penduduk asli sedikit. Dalam garis ini sesuai djuga taktik untuk tidak memasukkan bahasa Belanda dalam pergaulan dengan penduduk, tetapi memakai bahasa² daerah atau lingua franca, bahasa Melaju, jang dengan demikian dibantu oleh Gubernemen menjebarkannja.

Pengadjaran rakjat dengan tudjuan kulturil diserahkan kepada partikelir, termasuk initiatif geredja dan demikian terdirilah beberapa sekolah² zending dan missi, dimana kebanjakan pengadjaran diberikan dalam bahasa Melaju. Penduduk sendiri masih mempunjai sekolah² agama jang telah kita sebutkan dahulu, madrassah, jang tidak banjak pekerdjaannja selain dari mengadjar segolongan ketjil penduduk dalam membatja Koran dan menulis huruf² Arab.

Barulah setelah tahun 1860, ketika dalam zaman menteri Fransen van de Putte mulai masuk politik liberal, maka diputuskanlah setjara prinsipiel, untuk memberikan pengadjaran rakjat, jang lepas dari pendidikan mendjadi pegawai pemerintah. Bersamaan dengan itu diberikan kepada anak² bangsawan penduduk asli, prijaji's, hak mengundjungi sekolah² Belanda. Tetapi keberatan² keuangan jang berhubungan dengan penjelenggaraan pengadjaran rakjat tidaklah begitu tjepat dapat dipetjahkan dan djuga sambungan² pada kebutuhan² jang beragam-ragam itu dalam berbagai-bagai daerah tidaklah dengan segera diperoleh, untuk ini ada dibedakan dalam tahun 1893 antara sekolah² bumiputera kelas satu dan kelas dua.

Setelah tahun 1900, pemberian pengadjaran mendapat dorongan baru, karena timbulnja politik ethis. Dalam perhubungan kolonial ekploitasi akan diganti dengan assosiasi dan dengan memberikan tidak ada batasnja barang² kebudajaan

21