Halaman:Taman Siswa.pdf/30

Halaman ini tervalidasi

dan nasib inilah djuga jang menimpa aktivitet Departemen Pengadjaran sehabis perang. Orang² Djepang telah mendjalankan diatas kertas sekolah rendah enam tahun dan kewadjiban beladjar, tetapi sebenarnja pengadjaran bumiputera jang telah ada kutjar-katjir dan diserahi banjak waktu untuk gerak badan dan semangat militer. Tjita² sekolah rendah enam tahun dioper dan disusunlah rentjana baru untuk seluruh pengadjaran, jang melepaskan dualismus (serbadua) lama pengadjaran bumiputera dan barat dan selandjutnja diberi berdasar pandangan² pedagogis dan metodologis jang paling baru sedemikian, hingga seorang orang baru dari negeri Belanda ― dimana setelah perang disegala tempat dibitjarakan djuga pembaruan pengadjaran, tetapi jang dalam praktik demikian sedikit terlaksana ― harus melihat dengan heran, bahwa susunan jang demikian adalah mendjadi pedoman pemerintah resmi, Pelaksanaan sistem ini diserahkan kepada negara² bagian jang telah dibentuk dan jang akan dibentuk, jang dapat memberikan pada tiap² pengadjaran rendah bahasa pengantarnja sendiri (sedang djuga bahasa Belanda akan dipakai sebagai bahasa pengantar pada sekolah² „anak² orang Belanda jang tetap tinggal di Indonesia”), dan djuga isi nasionalnja. Seperti diketahui sentimen nasional telah djuga waktu itu djauh sedikit.

Adalah menarik perhatian untuk mengutip dalam hal ini pendapat seorang - Direktur Pengadjaran dari masa itu, jakni Dr. R. W. van Diffelen, tentang pengadjaran Taman Siswa dalam suatu pendjelasan tentang latar belakang batin pengadjaran dan pembinaan budi pekerti:

Djadi supaja terdapat pengadjaran nasional jang benar², haruslah ditjari kebadjikan² atau sifat² nasional-primer; pada orang² Djawa misalnja perasaannja untuk bentuk²-hidup jang halus dan untuk pergaulan, perasaan tolong-menolongnja dan selandjutnja adat istiadat serta kebiasaan nasional-sekundernja jang memperkuat dan membantu kebadjikan² nasional-primer itu dan memerangi sifat² nasional jang tidak baik, sifat² sebaliknja dari kebadjikan² nasional tadi.

Usaha satu²nja, jang sangat menarik untuk mentjapai dengan djalan ini pengadjaran nasional, adalah dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantoro dalam sekolah² Taman Siswanja.

Pengadjaran jang semata-mata berdasarkan kebudajaan Djawa ini, memakai sifat² nasional-sekunder seperti bahasa, tari²an dan njanji²an, sebagai alat untuk memperkuat sifat² watak nasional-primer.

Praktiknja adalah djauh kurang memuaskan. Sebagai sebab²nja saja lihat ialah kurang memperhatikan nilai² dasar kebudajaan sendiri. Disamping itu kekurangan pengertian dalam arti penjintuhan kebudajaan antara kebudajaan sendiri dan kebudajaan Barat. Barangkali djuga keseganan untuk mendalaminja, karena orang merasa dirinja lebih kuat dan aman dalam pengasingan seperti jang tampak dengan djelas dalam waktu jang terachir ini. Lagipula ternjata tidak diketahui lebih dahulu, bahwa keinginan untuk mentjapai idjazah lebih besar dari keinginan untuk mengenal kebudajaan sendiri, sehingga tumbuhnja gerakan mendjadi djauh terlalu tjepat untuk dapat mendjalankan azas² kita dengan konsekwen; penjebaran pengadjaran nasional ini keluar daerah kebudajaan Djawa adalah suatu kesalahan jang lama-kelamaan tidak dapat tidak melemahkan gerakan. Walaupun ada dalam teori, tetapi karena terlalu ketjilnja penjesuaian kritis terhadap pemakaian sifat² nasional-sekunder, berhubung

25