disini. Mereka marhaen, karena mereka berpendapat, bahwa seluruh rakjat, dalam segala lapisannja, telah mendjadi marhaen. Tetapi terhadap susunan asli rakjat bumiputera tidaklah mereka revolusioner. Kadang² malahan mereka mau menghidupkan kembali bentuk² jang telah kolot.” Djadi kita lihat disini, sosialismus tampak dapat diassimiler, tetapi harus dinasionaliser dan bertjorak marhaen. Untuk kaum terpeladjar, jang telah merasa sebagai individu, karena pendidikan barat mereka, jang telah mengikuti sosialismus, haruslah lebih penting mentjiptakan pertalian² baru daripada unsur perdjuangan kelas, jang walaupun demikian, harus ikut diterima mereka sebagai sesuatu jang tak terelakkan. Dengan mulai dari sini tjorak sosial dari revolusi Indonesia akan berharga untuk ditulis.
Oleh bentuk² pura² dari akkulturasi seperti jang telah kita berikan, djuga oleh tjorak politik kultur Taman Siswa, adalah sulit sekali, lebih² djuga dalam bentuk organisasinja, untuk membedakan sesuatu jang lama dari jang baru dan sesuatu jang prinsipiel dari jang opportunistis. Demikianlah dalam hal ini tidak mengharapkan subsidi gubernemen untuk dapat mempertahankan kemerdekaan sendiri adalah putusan jang prinsipiel, tetapi seperti kita lihat, kemerdekaan ini bukanlah semata-mata karena tidak mau tjotjok dengan program pengadjaran. Kemerdekaan apakah kalau demikian? Ada perkara guru² tidak berwewenang, jang merupakan sebagian besar dari pekerdja² Taman Siswa (dan sampai sekarang masih demikian). Orang mau mempertahankan kemerdekaan untuk mengangkat mereka, karena bagi Taman Siswa jang perlu bukanlah „wewenang”, tetapi ketjakapan. Tetapi inipun boleh kita sebutkan adalah suatu keinginan jang lebih opportunistis dari prinsipiel. Dalam waktu sebelum perang memanglah telah mungkin dengan segera untuk mewadjibkan idjazah sendiri, dengan mendirikan sekolah guru sendiri.
Ada djuga diberikan alasan lain untuk menolak subsidi, jakni kejakinan jang nampaknja dioper Dewantoro dari Gandhi, bahwa sjarat bagi sesuatu bangsa untuk mempertahankan kemerdekaannja adalah terletak dalam tidak bergantungnja dari bangsa lain setjara ekonomis. Gandhi (jang djuga telah pernah bekerdja sebagai guru dalam ashrama Tagore) mempropagandakan untuk itu, seperti telah kita ketahui, supaja kembali kepada keradjinan tangan jang dahulu sekali, jakni bertenun dengan tangan. Dewantoro, kita lihat dalam azas ketiga, mengedjek ketjenderungan „kepada pertumbuhan jang berat sebelah, pertumbuhan ketjerdasan semata-mata, jang membuat kita tidak bebas setjara ekonomis.” Tetapi prinsip ini tidaklah setjara konsekwen diteruskan.
Untuk gubernemen penolakan ini berarti, bahwa pengadjaran disekolah-sekolah ini lepas dari pengawasannja. Ketika setelah perkembangan² revolusioner pertama dalam gerakan nasional, pemerintah dinegeri ini dengan Gubernur Djenderal B. C. de Jong dalam tahun 1931, dengan persetudjuan pemerintah dinegeri Belanda, mengambil arah politik jang tegang konservatif dan ketika orang mulai takut kepada momok politik mempengaruhi penduduk kearah jang tidak diingini, pemerintah itu mengeluarkan dalam tahun 1932 jang disebut wilde scholen-ordonnantie (undang² sekolah liar). Hal ini terdjadi setelah Direktur Pengadjaran dan Ibadat pada waktu itu mengurangi anggaran departemennja dari 70 djuta mendjadi 21 djuta, tetapi jang ditolak oleh Volksraad. Demikianlah dapat kita mengerti, mengapa Dewantoro, setelah diadjukan ordonnansi ini pada
35