Halaman:Taman Siswa.pdf/47

Halaman ini tervalidasi

baruan batinnja. Pendjelmaannja ialah tugas jang diberikan oleh konggres tahun '31 kepada Mangunsarkoro untuk menjusun suatu rentjana peladjaran baru, jang pada satu pihak lebih bersahadja bentuknja dan pada pihak lain lebih kuat bertudjuan nasional dengan mengambil seboleh-bolehnja bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa Belanda hanja sebagai mata peladjaran, dimana mungkin baru mulai dari kelas tiga, rentjana mana diterima baik dalam tahun berikutnja, bersamaan dengan penerimaan oleh konggres 32 ini prinsip pekerdjaan zending. Pemberian pengadjaran jang diperlukan kepada golongan² penduduk, jang tidak dapat ditjapai oleh sekolah² gubernemen, seperti sampai sekarang jang dilakukan, dihargai orang sebagai pekerdjaan menolong, tetapi mulai sekarang haruslah lebih diawasi tudjuan sendiri. Konkordansi (persamaannja dengan negeri Belanda) Mulo Gubernemen telah dihilangkan, djuga disekolah-sekolah ini akan lebih diatamakan unsur² sendiri: mata² peladjaran ethik, sedjarah kebudajaan, bahasa nasional, musik dan tari²an dan seterusnja djuga pengetahuan masjarakat harus lebih diperhatikan. Seboleh-bolehnja bahasa sendiri dipakai sebagai bahasa pengantar pada pengadjaran.

Sekali mengikuti djedjak „zending” maka perdjalanan diteruskan dengan penuh semangat. Djalan telah djelas terbentang didepan mata. Dan ketika tjabang Taman Siswa Djakarta memutuskan pada tahun 1933 untuk mendirikan sebuah Taman Dewasa Raya, sebagai landjutan Taman Dewasa jang dimulai pada tahun 1931, maka Taman Siswa menuntut, supaja didalamnja djuga didjelaskan tjita² zending itu. Dengan sembojan Menudju Masjarakat dan sekolah tinggi nasional didirikanlah Taman Dewasa Raya dengan program, jang boleh dikatakan „literer-ekonomis”. Mengapa literer-ekonomis? Sifat kesusasteraan (sastera Timur) menjatakan tjita² pembangunan kebudajaan sendiri. Program ekonomis itu timbul dari pandangan, bahwa kalau tidak ada pengetahuan ekonomi tidak dapat bangsa Indonesia bertahan dalam perputaran rumah tangga dunia jang besar itu. Demikianlah Taman Dewasa Raya mempunjai tjorak tersendiri pula. Dengan sedar Taman Dewasa Raya bertudjuan mendidik pekerdja² untuk pergaulan-hidup jang akan datang, berdjiwakan tjinta jang besar kepada bangsa dan tanah air. Bukankah itulah djuga tudjuan tjita? „zending”Taman Siswa?

Dan dalam hal jang telah dibentangkan diatas kita lihat dengan djelas perkembangan Taman Siswa dalam lapangan nasional-kulturil. Perkembangan setjara kulturil itu mentjapai titik puntjaknja dalam reorganisasi Taman Siswa selama konggres bulan April tahun 1936. Dengan djelas Ki Hadjar Dewantoro mengatakan waktu itu, bahwa tiap² anggota Taman Siswa harus menganggap dirinja sebagai saudara seperguruan anggota lain. Nasionalismus kulturil dalam Taman Siswa telah mendjadi kepertjajaan luhur, mendjadi aliran djiwa (Mangunsarkoro, Kol. Studien '37 hal. 291—292).

Perkembangan ini barangkali dapat saja sebutkan sebagai suatu aliran Kembali kepada jang nasional dari berdirinja sampai kealiran Madju kepada jang nasional, suatu orientasi kepada masa jang akan datang, seperti djuga disamping Dewantoro, orang jang mempertahankan kebudajaan nasional jang masih ada, dapat dibedakan Mangunsarkoro, sebagai orang jang bertjita-tjitakan pembentukan kebudajaan baru Indonesia. Djadi dalam hal ini Taman Siswa dengan sedar menerima dan mengikuti penggantian bahasa Melaju mendjadi „bahasa Indonesia”, sebagai

40