Halaman:Taman Siswa.pdf/49

Halaman ini tervalidasi

bentuk² masjarakat barat. Dalam gerakan kesusasteraan, jang mulai mendjelmakan dirinja dalam madjalah Pudjangga Baru sedjak tahun 1932 dan jang salah satu pemimpinnja adalah Alisjahbana sendiri, ia mempropagandakan djuga suatu orientasi ke barat untuk menggerakkan feodalitet sendiri jang telah mati itu, Karangan²nja dan karanga² teman sependirian dengan dia bernapaskan elan dan suka tjita hidup, jang memang mempunjai segala tjiri² suatu renaissance.

Dalam karangannja Menudju masjarakat baru dan kebudajaan baru (Pudjangga Baru '35) ia mengambil dasar perpetjahan jang tadjam dan hampir mutlak antara Indonesia dan prae-Indonesia sebagai kenjataan dan sebagai tjita². Kebudajaan Indonesia jang sedang tumbuh itu adalah radikal berlainan dari kebudajaan jang dahulu atau dari kebudajaan² Nusantara jang dahulu. Radikal berlainan bukanlah sedemikian dalam hal, bahwa tidak ada sama sekali tinggal dari bekas² kebudajaan² tua dalam Indonesia abad keduapuluh, tetapi radikal berlainan, karena semangat Indonesia jang memberi djiwa kepada kebudajaan jang penghabisan, adalah sesuatu jang baru sama sekali. Jang menetapkan kebudajaan bukanlah sebenarnja sedjumlah unsur² kebudajaan jang lepas, tiap² kebudajaan dikuasai dan diberi bertjorak oleh suatu tjita², oleh suatu motif pendorong, dan itulah disini suatu djiwa, suatu tjita² jang fundamentil dapat dibedakan dari motif² pokok beberapa kebudajaan jang dahulu dinegeri ini. Dan hal itu adalah berkat dorongan² Barat, jang telah memberikan kepada Indonesia dynamik jang tak akan dapat ditinggalkannja lagi. Sebab itu djuga bukan restaurasi, serahkanlah itu kepada ahli² kamar beladjar jang botak dan jang sabur mata.

Tetapi djuga bukan imitasi –– itu baik untuk kaum lemah. Bukanlah untuk mereka jang mempunjai debaran hati muda lagi keras dalam dada. Kemauan Indonesia untuk bersatu bukanlah berakar dalam zaman jang akan datang. Dan apa jang diperlukan Indonesia akan bahan² pembangunan, bukanlah terdapat pertama-tama dalam zaman silam sendiri, tetapi di Barat, bagaimanapun anehnja terdengar bagi orang² idealist. Sebab dengan tidak ada dynamik Barat (jang bahkan memberi nama kepada Indonesia), sungguhlah tidak akan mungkin untuk turut kembali dengan bangsa² lain didunia ini. Kita selalu dapat melihat, apa jang masih dapat dipakai dan dapat diolah dari kebudajaan² prae-Indonesia. Tetapi itupun djuga pada hakekatnja akan mendjadi lain karena ditjiptakan kembali oleh suatu djiwa baru. (demikianlah kesimpulan karangan ini diberikan Dr. A. Teeuw dalam timbangannja mengenai bundel Polemik Kebudajaan dalam Nieuwsgier, Nop. '49).

Pertentangan jang lebih besar dengan tjita² Dewantoro, jang sebagai reaksi atas prae-Indonesia Alisjahbana menjebutkan tjita² Alisjahbana itu sebagai

Indonesia-Futura, bukan futurisme terhadap Indonesia-Realia sendiri, tidaklah dapat dipikirkan. Dewantoro dalam hubungan ini menjusun teorinja jang disebut teori-tri-con. Disini ia mulai dengan kebudajaannja jang historis berakar itu, kebudajaan jang ia jakin akan nilai batinnja dan pertjaja akan kekuatan tumbuhnja dan sebab itu ia setudju dengan perkembangan continue dari kebudajaan ini dalam perhubungan² baru. Walaupun ia menganggap pengetahuan kebudajaan asing adalah sjarat untuk memperkaja dan memperluas kebudajaan sendiri, ia beranggapan djuga, bahwa adalah perlu untuk menguasai kontak ini setjara teratur (planmatig) untuk menunggu saat psychologis dan saat jang sewadjarnja, karena

42