Halaman:Taman Siswa.pdf/56

Halaman ini tervalidasi

dahulu kuat mempunjai tjorak Islam, kuranglah tjepatnja terdjadi. Tetapi inipun tentulah tidak dapat dianggap sebagai sifat hakiki dari pengadjaran Taman Siswa dan adalah pasti, bahwa sekarangpun masih banjak orang² tua, jang mau membajar uang sekolah jang lebih tinggi disekolah partikelir, karena mereka lebih suka setjara ideologis kepada djenis pengadjaran partikelir ini.

Untuk dapat mendjawab pertanjaan, apakah perbedaan pengadjaran ideologis dengan pengadjaran pemerintah, maka kita harus membaginja dalam dua bagian menurut bentuk dan menurut isi. Bentuk ialah mengenai metodos pengadjaran atau pengadjaran sadja, isi ialah dasar² batin pengadjaran ini.

Dasar² batin pengadjaran pemerintah disimpulkan dalam Pantja Sila, sematjam pernjataan azas negara Indonesia baru dalam mukaddimah U.U.D.-Sementara. Didalamnja disatukan kembali kedua komponen gerakan nasional dari sedjarah dengan mengambil, disamping nasionalismus, kedaulatan sosial dan demokrasi djuga. Selandjutnja dalam kelima azas ini ditempatkan disamping masing² ketuhanan (kepertjajaan kepada Tuhan) dan kemanusiaan, djadi kepertjajaan kepada manusia.

Adalah menarik perhatian, bagaimana sikap aliran² gerakan nasional, jang telah memperlihatkan perbedaan dahulu itu, terhadap pernjataan azas ini. Keterangan jang diberikan Alisjahbana pada waktu belakangan (dalam konggres Perkumpulan Pedagogik Indonesia di Bandung, Des. ’50), dimana ia begitu sadja menjebutkan azas² ini bertentangan satu sama lain, adalah mendjelaskan bagi kita. Sebagai tjontoh diambilnja demokrasi dan ketuhanan: jang satu membolehkan dan jang lain melarang aktivitet perkumpulan jang mungkin atheistis. Seterusnja ia berkata: „Sebenarnja tidak ada partai manapun di Indonesia, jang jakin akan Pantja Sila. Tiap² partai dari jang banjak itu berusaha untuk mendjalankan azas² dan tudjuan²nja sendiri dalam praktik. Ada partai² jang bertudjuan mendirikan negara Islam, djuga ada jang menghendaki masjarakat sosialis, atau nasionalis atau kommunis.”

Dewantoro menerangkan dalam suatu karangan (dalam Mimbar Indonesia bulan Maret ’50), bahwa tiap² orang bebas mengartikan azas² ini dengan tjaranja sendiri. Demikianlah penjusunnja, jang tak dapat tidak adalah seorang jang taat beragama (Sukarno), memang menjebutkan ketuhanan lebih dahulu, tetapi Dewantoro menghendaki, supaja hal ini terutama diartikan dalam prakteknja, djadi sebagai tjinta kepada sesama manusia, dan sebab itu untuk dia kemanusiaanlah azas jang pertama (pendirian Taman Siswa terhadap peraturan pemerintah mengenai pengadjaran agama telah kita kutip didepan ini). Djadi Pantja Sila, bukan sadja memuaskan kejakinan agama Islam, c.q. Kristen, dari bangsa Indonesia, tetapi djuga memuaskan kejakinan djiwa Djawa jang lebih spesifik itu. Ada baiknja kita tambahkan disini, bahwa kejakinan pertama selalu lebih kuat menarik rakjat dari kejakinan kedua jang lebih aristokratis, seperti jang tampak misalnja pada perkembangan Sarekat Islam dalam tahun² ’20—’30 terhadap pengikut² tjita² luhur Budi Utomo jang djumlah anggota²nja selalu tinggal terbatas.

Djuga pandangan Mangunsarkoro ada baiknja diperhatikan dalam hal ini. Pendapatnja sama dengan pendapat Dewantoro, dan barangkali hanja terutama

49