Halaman:Taman Siswa.pdf/57

Halaman ini tervalidasi

berbeda dalam tjoraknja sebagai kurang individualistis, seperti Mangunsarkoro selalu kuat mengutamakan tjorak sosialis bentuk organisasi Taman Siswa dan sebagai sambungan tradisi desa Djawa jang kollektivistis. Ia mendjelaskannja a.l. dalam karangan tahun '47 jang telah kita kutip didepan ini The sociological and cultural Fundamentals for the educational System in Indonesia, dimana ia mengusulkan, dalam mentjari dasar pendidikan dan pengadjaran di Indonesia, untuk memasukkan pengertian baru, jang untuk sementara disebutkannja agama-kerti, sampai ada istilah jang lebih tepat. Dengan ini dimaksudkannja „religion of ethics”, djadi azas² kemanusiaan jang disetudjui segala agama, tetapi terlepas dari dogma kepertjajaan dan sekte, dan mengenai hidup sehari-hari orang biasa. Dengan tjara demikian ia hendak mempergunakan tabiat beragama, jang menurut dia ada pada orang Indonesia, untuk masjarakat dengan memakainja didalamnja sebagai tenaga pendorong. Ketjuali bahwa inilah sebenarnja (meskipun sajang dalam dunia kita agak tak njata nampaknja) satu²nja titik permulaan jang mungkin praktis benar dipakai dalam masjarakat jang dipetjah-petjah dalam berbagai-bagai kejakinan agama, lagipula hal ini kentara benar bagi Mangunsarkoro, jang merasa dirinja sebagai seorang jang terdorong oleh perasaan sosialnja, djadi sebagai seorang jang suka berbuat dengan kebutuhan untuk pertanggungdjawaban religi (perkataan religieus-sosialistis teringat kepada saja). Bahwa ia, seperti semua organisator² besar, djuga seorang pemikir jang terang dan seorang systematikus, telah dibuktikannja dalam berbagai-bagai karangan (a.l. lagi Penuntut Guru Nasional 1935 dan Sosiologi 1947) dan dalam karangan² dimadjallahnja sendiri Kebudajaan dan Masjarakat. Adalah kentara untuk dia, bahwa ia sebagai salah satu orang Indonesia jang tidak banjak djumlahnja itu, (bahkan Takdir membatasi diri dalam hanja melihat pertentangan Rusia-Amerika dalam kebudajaan dunia sekarang), jang melihat kepentingan perbedaan antara kebudajaan Eropah dan Amerika, dimana ia menjangsikan, apakah jang penghabisan ini pada tempatnja mendapat kwalifikasi kebudajaan (memang sekarang, djuga menurut Sartre misalnja, Eropah harus berdjuang mati²an setjara kulturil terhadap Amerika jang berkuasa besar itu dalam lapangan ekonomi).

Lebih banjak mempunjai pengaruh dari berbagai-bagai interpretasi tentang Pantja Sila adalah dalam tingkat pembangunan sekarang ini pendapat² jang berbagai-bagai itu tentang garis²-petundjuk jang harus diikuti dalam pembentukan kebudajaan Indonesia baru. Keterangan untuk ini tidak akan djauh ditjari, sebab menurut tjoraknja Pantja Sila sebagai dasar adalah lebih baik ditaruh diluar pembitjaraan, sedang terutama disini dengan segera kita menjinggung segala soal² pandangan-dunia. Kurang memberi perangsang ialah perbedaan² pendapat dalam kebudajaan.

Dengan segera, setelah pernjataan negara nasional, keinginan untuk mempunjai kebudajaan nasional membawa orang² terkemuka dalam lapangan kebudajaan berunding. Pada tahun '46 diadakanlah di Sukabumi konggres partikelir dan pada tahun '48 konggres jang lebih bertjorak resmi di Magelang. Diantara keduanja ialah turutnja Indonesia dalam Inter-Asian Relations Conference di New Delhi, dimana tjita² berdiri sendiri dalam kebudajaan ternjata pada umumnja hidup di daerah² djadjahan dahulu, bahkan ada dimadjukan usul untuk mendirikan Insti-

50